Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

15,9 Juta Anak Berpotensi "Fatherless", Pakar UGM Ungkap Dampaknya

Kompas.com - 19/10/2025, 15:46 WIB
Sania Mashabi,
Mahar Prastiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ketidakhadiran sosok ayah atau fatherless ternyata memiliki dampak yang cukup banyak untuk anak. Mulai dari dampak fisik dan sosial.

Dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM) Minggu (19/10/2025), saat ini tercatat ada 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa adanya peran ayah dalam kehidupannya.

Dari 15,9 juta itu, sebanyak 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah dan 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.

Padahal, peran ayah dalam keluarga merupakan hal penting dalam membentuk kepercayaan diri, nilai moral, hingga kecerdasan emosi seorang anak.

Baca juga: Tim UGM Ciptakan Alat Bakar Sampah Portable buat Rumah Tangga

Keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah

Menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, fenomena ketidakhadiran peran ayah tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga secara emosional.

"Banyak keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah karena faktor pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi. Namun, kehadiran ayah tetap dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak," kata Rahmat dikutip dari laman resmi UGM, Minggu (19/10/2025).

Rahmat menjelaskan, ada tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak yaitu observasional, behavioral dan kognitif.

Ketiganya membutuhkan sosok kehadiran peran ayah sebagai role model dalam mendukung perkembangan emosional.

Pada pembelajaran observasional yakni anak sejak usia dini belajar banyak hal melalui pengamatan perilaku orang lain untuk menjadi role model anak.

Rahmat menerangkan, ketidakhadiran ayah secara emosional maupun fisik menyebabkan anak kehilangan sosok model perilaku utama baik dalam pengendalian diri, kedisiplinan, interaksi sosial, serta sikap bertanggung jawab.

"Pertama yang paling tidak disadari adalah proses belajar secara observasional dimana anak belajar melihat, mengamati, menirukan ini sebagai satu pola yang ada sejak anak-anak, dari masa kecil, dari lahir sampai seterusnya melalui belajar observasional. Dalam proses ini yang penting adalah siapa role model-nya," ujarnya.

Baca juga: Kisah Eka, Dosen UGM Berusia 34 Tahun Masuk Top 2 Persen Ilmuwan Berpengaruh Dunia

Ayah berperan sebagai sosok otoritas dalam mengatur batasan

Selanjutnya, Rahmat menjelaskan tentang pembelajaran behavioral dijalankan melalui mekanisme pembiasaan dan penguatan perilaku positif maupun negatif.

Menurut Rahmat, pembelajaran behavioral ini memiliki unsur pengukuhan dengan pemberian reward dan punishment yang menekankan anak dalam membentuk perilaku penguatan dan pembiasaan agar anak dapat belajar atas konsekuensi setiap tindakan yang dilakukan.

Dalam konteks keluarga, ayah berperan sebagai sosok otoritas dalam mengatur batasan.

"Sosok ayah dalam hal ini memberikan penghargaan ketika anak bertindak dan berperilaku baik, sebaliknya ayah akan memberikan koreksi ketika anak melanggar suatu aturan," ujarnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau