PENULIS masih mengingat pesan Prof. Conny R. Semiawan ketika mengajar mata kuliah Perkembangan Anak di Universitas Negeri Jakarta pada akhir 1980-an.
Beliau menekankan bahwa setiap anak lahir membawa potensi luar biasa. Tugas orang dewasa bukan mencetak mereka sesuai pola pikir kita, melainkan memfasilitasi proses tumbuh kembang yang alami.
Pesan itu terasa semakin relevan hari ini, di tengah praktik pendidikan anak usia dini yang masih sering terjebak pada percepatan akademik semata.
Dalam konteks ini, Biopsychosocial Model yang dikemukakan George L. Engel (1977) menawarkan kerangka penting untuk memahami perkembangan anak secara menyeluruh.
Engel menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara tiga dimensi: biologis, psikologis, dan sosial.
Jika menggunakan metafora teknologi, dimensi biologis yang mencakup tubuh, otak, kesehatan, dan keterampilan motorik dapat diibaratkan sebagai hardware, yakni fondasi fisik tempat seluruh proses belajar dan interaksi bertumpu.
Sementara dimensi psikologis dan sosial yang meliputi emosi, motivasi, kepercayaan diri, serta kemampuan bersosialisasi merupakan software yang mengatur cara anak berpikir, merasakan, dan berhubungan dengan lingkungannya.
Ketika kedua sisi ini tumbuh seimbang, anak akan berkembang menjadi versi terbaik dirinya, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan yang akan ia bentuk sendiri.
Namun, keseimbangan itu sering terganggu oleh praktik yang terlalu berorientasi pada hasil akademik.
Banyak orangtua dan guru masih menilai keberhasilan anak dari seberapa cepat ia bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Akibatnya kegiatan bermain, interaksi dengan teman sebaya, serta ruang eksplorasi untuk melatih kreativitas sering terpinggirkan.
Paradigma semacam ini bukan hanya membatasi potensi anak, tetapi juga menggeser makna sejati pendidikan usia dini.
Tujuan pendidikan seharusnya membantu pertumbuhan jasmani (fisik) dan rohani (mental, sosial, emosional) agar anak siap memasuki jenjang pendidikan dasar.
Dari sini kita mulai memahami bahwa pendidikan anak usia dini yang baik menuntut keseimbangan antara logika dan rasa, antara kemampuan kognitif dan kekuatan karakter.
Dalam dunia digital, kita tahu hardware dan software adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.