Ini merupakan pertemuan kedua setelah perundingan di Muscat, dan menandai kelanjutan dari format diplomasi tidak langsung—dengan kedua delegasi tidak berada dalam ruangan yang sama.
Negosiasi ini dilangsungkan dalam situasi kawasan yang sangat tidak stabil. Konflik yang berkecamuk antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, serta serangan udara AS terhadap kelompok Houthi di Yaman—sekutu Iran—menambah ketegangan politik dan militer di Timur Tengah.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk melanjutkan dialog justru menunjukkan kesadaran kedua negara akan risiko eskalasi lebih luas jika jalur diplomasi ditutup.
Di tengah gejolak, diplomasi tetap dipertahankan sebagai instrumen utama untuk mencegah krisis lebih besar.
Indonesia memandang dinamika ini sebagai refleksi dari urgensi diplomasi dalam menghadapi krisis global, sekaligus peluang untuk memperkuat posisi sebagai kekuatan menengah yang menjunjung prinsip nonblok dan perdamaian internasional.
Dalam konteks kepentingan geopolitik nasional, Indonesia dapat mengambil peran sebagai penyeimbang strategis yang mendukung penyelesaian damai melalui forum multilateral seperti MIKTA dan Gerakan Nonblok.
Stabilitas Timur Tengah memiliki dampak langsung terhadap harga energi global dan keamanan maritim –dua aspek vital bagi perekonomian Indonesia sebagai negara kepulauan dan importir minyak.
Dalam pertemuan di Roma itu, AS diwakili oleh Steve Witkoff, utusan Presiden Donald Trump untuk Timur Tengah. Sementara itu, Iran mengutus Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi.
Format perundingan yang tetap berlangsung meski secara tidak langsung—dalam ruangan terpisah—mengindikasikan masih kuatnya ketidakpercayaan di antara kedua pihak.
Namun, fakta bahwa mereka tetap bersedia hadir menunjukkan bahwa jalur damai masih dianggap rasional dan strategis oleh para aktor kunci.
Dari perspektif Indonesia, keberlanjutan diplomasi nuklir antara Iran dan AS harus diapresiasi sebagai bagian dari upaya menjaga ketertiban dunia –berdasarkan hukum internasional dan penghormatan terhadap prinsip kedaulatan.
Indonesia, yang selama ini aktif dalam isu nonproliferasi nuklir, berkepentingan agar Timur Tengah tidak menjadi ladang baru perlombaan senjata.
Melalui dukungan terhadap pendekatan diplomatik dan multilateralisme, Indonesia menegaskan komitmen pada arsitektur perdamaian global yang inklusif, serta mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan dalam hubungan internasional.
Geopolitik global: Strategi penyeimbangan
Geopolitik global saat ini menunjukkan dinamika yang semakin kompleks dalam tatanan dunia multipolar.
Keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018, di bawah pemerintahan Donald Trump, memicu fragmentasi komitmen internasional terhadap perjanjian multilateral.
Pasca-invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan antara Barat, Rusia, dan China semakin memperburuk stabilitas global –juga menambah lapisan ketidakpastian dalam hubungan internasional.
Keadaan ini memperlihatkan: bahwa tatanan dunia yang semakin multipolar mengharuskan negara-negara untuk mengembangkan strategi penyeimbangan, yang lebih adaptif terhadap perubahan besar dalam peta geopolitik.
Dalam konteks ini, Iran mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan regional yang mencoba memperkuat otonomi strategis melalui kemitraan dengan Rusia dan China.
Kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, ke Moskwa sebelum perundingan di Roma pada April 2025, menunjukkan bahwa Iran sedang memanfaatkan "kartu multipolar" untuk memperluas pengaruh dan mengurangi tekanan dari sanksi Barat.
Iran melihat pentingnya aliansi dengan dua kekuatan besar ini untuk menjaga stabilitas domestik, dan memperkuat posisi tawarnya dalam perundingan internasional, termasuk isu nuklir.
Di sisi lain, AS menghadapi tantangan strategis jauh lebih besar, yang tidak hanya berkaitan dengan Timur Tengah, tetapi juga dengan kawasan Indo-Pasifik, Ukraina, dan transisi energi global.
AS perlu menjaga fokus pada beberapa titik api yang dapat menguras sumber daya strategisnya.
Oleh karena itu, keberhasilan diplomasi dengan Iran menjadi penting, karena hal ini dapat meredakan salah satu sumber ketegangan yang berpotensi menyedot perhatian AS lebih jauh lagi.
Sementara itu di sisi lainnya, Indonesia, sebagai negara yang memiliki kepentingan dalam stabilitas global dan kawasan, melihat pertemuan ini sebagai momentum untuk memperkuat peran diplomatiknya dalam dunia yang semakin multipolar.
Indonesia berusaha tetap menjaga keseimbangan dalam hubungan internasional, dengan memperkuat kebijakan luar negeri yang mengutamakan perdamaian dan keamanan melalui dialog multilateral.
Mengingat ketergantungan Indonesia pada stabilitas kawasan Timur Tengah—terutama dalam hal pasokan energi—Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa jalur diplomasi tetap terbuka di tengah ketegangan geopolitik yang ada.
Tambahan pula dengan keterlibatan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan peran mediasi Italia dalam perundingan ini, multilateralisme menunjukkan bahwa meskipun dunia tengah berada dalam ketidakpastian geopolitik, masih ada ruang untuk diplomasi yang efektif.
Diplomasi alat stabilisasi Timur Tengah
Dalam konteks kawasan Timur Tengah, diplomasi nuklir yang sedang berlangsung antara Iran dan Amerika Serikat (AS), memiliki dampak strategis yang sangat luas.
Iran, sebagai aktor utama di kawasan ini, memengaruhi berbagai konflik proxy yang terjadi di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Ketegangan yang sering muncul antara Iran dan sekutu-sekutu AS, seperti Israel dan Arab Saudi, sering kali berakar pada ketidakpastian niat strategis Iran terkait dengan program nuklirnya.
Perundingan nuklir ini, meskipun penuh tantangan, berpotensi menawarkan ruang bagi stabilitas lebih besar di kawasan yang sudah terjerat konflik berkepanjangan.
Negosiasi yang digelar di Roma ini membuka peluang untuk meredakan risiko konfrontasi militer langsung, terutama antara Iran dan Israel yang sudah lama terlibat dalam ketegangan yang sangat intens.
Keberadaan saluran diplomatik yang kembali dibuka bisa memberikan ruang bagi dialog lebih lanjut tentang isu-isu penting lainnya, seperti keamanan maritim di Teluk Persia, stabilitas Lebanon, serta penyelesaian konflik Suriah.
Proses ini juga menggambarkan kepercayaan terhadap mediator yang netral, seperti Oman dan Italia, yang memiliki posisi di luar blok Barat dan Timur, serta diakui kemampuannya dalam memfasilitasi dialog di tengah ketegangan.
Kendati begitu, tantangan yang dihadapi dalam perundingan ini sangat besar. Meskipun kedua belah pihak tampaknya sepakat untuk melanjutkan dialog, delegasi AS dan Iran masih berseberangan dalam hal interpretasi mengenai batas maksimal pengayaan uranium yang diterima oleh masing-masing pihak.
Pernyataan tegas dari Penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Shamkhani, yang menolak tekanan semacam “kasus Libya” menunjukkan bahwa Iran tidak akan tunduk pada upaya kooptasi sepihak dari Barat, yang sering kali mengedepankan standar ganda dalam masalah-masalah internasional.
Ketegangan ini menandakan bahwa proses negosiasi kemungkinan akan berlangsung panjang dan penuh dinamika.
Dari perspektif Indonesia, yang memiliki peran penting dalam geopolitik Asia Tenggara dan memiliki kepentingan terhadap stabilitas energi global, situasi di Timur Tengah sangat relevan.
Indonesia, sebagai negara yang menganut prinsip perdamaian dan diplomasi, melihat upaya diplomasi nuklir ini sebagai langkah penting untuk menjaga kestabilan kawasan yang berdampak langsung pada harga energi dan perdamaian dunia.
Sebagai negara netral dengan kebijakan luar negeri yang mengedepankan solusi damai, Indonesia dapat terus mendukung upaya-upaya diplomatik internasional dalam menyelesaikan ketegangan di Timur Tengah.
Juga sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia dapat memainkan peran yang konstruktif dengan mendukung prinsip-prinsip diplomasi yang inklusif dan non-agresif.
Bagi Indonesia, perkembangan perundingan nuklir Iran-AS membawa implikasi strategis yang signifikan –baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, dan anggota aktif Gerakan Non-Blok, Indonesia memiliki posisi moral dan diplomatik yang penting dalam mendorong penyelesaian damai atas berbagai isu global, termasuk dalam hal diplomasi nuklir Iran.
Posisi ini memberikan Indonesia peluang untuk berperan aktif dalam menciptakan solusi yang mendukung perdamaian, sekaligus memperkuat citra internasional sebagai negara yang mendukung penyelesaian masalah global melalui dialog dan kerja sama.
Dalam kerangka kebijakan luar negeri bebas aktif, Indonesia memiliki potensi untuk memperkuat perannya sebagai fasilitator dalam berbagai forum multilateral.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Konferensi Asia-Afrika, serta jalur informal seperti Track II diplomacy, menawarkan kesempatan bagi Indonesia untuk lebih terlibat dalam upaya penyelesaian masalah internasional secara konstruktif.
Dengan memanfaatkan jaringan diplomatik ini, Indonesia dapat membantu meredakan ketegangan internasional dan menyuarakan pentingnya dialog sebagai solusi utama.
Keberhasilan Indonesia dalam berperan sebagai mediator dalam konflik internasional akan semakin memperkokoh reputasinya di kancah global.
Stabilitas kawasan Timur Tengah, terutama yang berkaitan dengan Iran, juga memiliki dampak langsung terhadap kepentingan energi Indonesia. Sebagai negara yang masih bergantung pada impor minyak, Indonesia sangat memperhatikan kondisi geopolitik di kawasan ini.
Keamanan pasokan energi dari Timur Tengah, yang mencakup jalur perdagangan vital melalui Selat Hormuz, sangat penting bagi kelangsungan ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, diplomasi yang berhasil antara Iran dan AS, yang mampu meredakan ketegangan, akan berkontribusi positif terhadap stabilitas kawasan, yang pada gilirannya berdampak pada stabilitas energi Indonesia.
Selain itu, keberhasilan diplomasi Iran-AS dalam mengatasi masalah nuklir dapat menjadi preseden positif bagi Indonesia dalam menghadapi isu-isu serupa di kawasan Asia Tenggara, terutama yang berkaitan dengan Laut China Selatan.
Indonesia, dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, dapat mengambil prinsip-prinsip yang telah berhasil diterapkan dalam perundingan ini, seperti dialog, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara.
Prinsip-prinsip tersebut bisa menjadi landasan bagi Indonesia dalam mendorong penyelesaian damai atas ketegangan yang ada di kawasan Asia Tenggara, yang sering kali melibatkan klaim teritorial tumpang tindih.
Dalam jangka panjang, diplomasi Indonesia yang mengedepankan penyelesaian damai dan kerja sama multilateral akan semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor global, yang dapat diandalkan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas internasional.
Dengan mengikuti jalur diplomatik yang konstruktif dan berbasis pada prinsip saling menghormati, Indonesia berpeluang untuk mempengaruhi penyelesaian berbagai masalah geopolitik, sekaligus memperkokoh peran negara dalam menghadapi tantangan global.
Peran diplomasi Italia dan Oman
Lebih lanjut, keberadaan Italia dalam perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat (AS), tidak hanya sekadar sebagai tuan rumah, tetapi juga sebagai fasilitator teknis yang memainkan peran penting dalam menjaga kelancaran jalannya diplomasi.
Pemerintah Italia, melalui Menteri Luar Negeri Antonio Tajani, menegaskan kesiapan negara tersebut menjadi jembatan dialog di berbagai tingkat, termasuk pada aspek teknis dan verifikatif.
Dalam pertemuannya dengan Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Mariano Grossi, Tajani menekankan perlunya penguatan rezim inspeksi internasional sebagai pilar transparansi.
Italia, sebagai anggota Uni Eropa dan NATO, memiliki posisi strategis yang unik dalam arsitektur diplomasi global. Negara ini mampu menjembatani pendekatan keras yang sering diambil oleh AS, dan pendekatan diplomatik yang lebih soft dari Eropa terhadap Iran.
Italia, dengan pengalaman diplomatiknya, dapat mempertemukan dua kekuatan besar yang memiliki kepentingan berbeda, mengurangi ketegangan, dan membuka peluang bagi terciptanya konsensus.
Dalam hal ini, Italia berperan sebagai penghubung yang memungkinkan diplomasi antarnegara yang terlibat untuk berjalan lebih lancar –tanpa mengabaikan kepentingan masing-masing pihak.
Sementara itu, Oman juga memainkan peran yang tidak kalah penting dalam proses diplomasi ini. Sebagai negara Teluk dengan tradisi panjang dalam mediasi, Oman kembali membuktikan dirinya sebagai aktor regional yang berpengaruh.
Negara ini dikenal karena kemampuannya untuk menjadi pihak netral yang dapat diandalkan dalam memfasilitasi dialog –antara negara-negara yang seringkali berada di sisi berseberangan, seperti Iran dan AS.
Tradisi netral Oman menjadikannya tempat yang aman bagi diplomasi backchannel, di mana negara-negara yang bermusuhan secara terbuka dapat berbicara dan mencari solusi tanpa harus terikat dengan politik terbuka yang lebih konfrontatif.
Peran Oman dalam mediasi ini juga sangat relevan dalam konteks geopolitik kawasan Timur Tengah. Negara ini berhasil mempertahankan hubungan baik dengan Iran, AS, dan negara-negara Arab lainnya, serta berperan dalam mengurangi ketegangan di kawasan.
Keberhasilan diplomasi Oman menunjukkan bahwa negara dengan tradisi netral dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Ini menggarisbawahi bahwa dalam diplomasi internasional, peran negara netral seringkali lebih efektif karena mereka tidak terikat oleh kepentingan politik atau ideologi tertentu.
Dengan peran penting yang dimainkan oleh Italia dan Oman, perundingan nuklir ini menjadi contoh bagaimana diplomasi global dapat dijalankan dengan melibatkan aktor-aktor yang memiliki kapasitas teknis dan kemampuan untuk meredakan ketegangan.
Keterlibatan kedua negara ini menunjukkan bahwa dalam dunia diplomasi, tidak hanya kekuatan besar yang memegang peran, tetapi juga negara-negara dengan tradisi mediasi dan kemampuan untuk menjadi jembatan bagi dialog.
Peran mereka memperkuat arsitektur diplomasi global, menciptakan ruang bagi penyelesaian damai yang lebih stabil dan berkelanjutan.
https://www.kompas.com/global/read/2025/04/22/145445570/negosiasi-nuklir-iran-as-di-roma-jalan-diplomasi-di-tengah-gejolak