Meski lawan Tim Garuda itu secara internasional dikenal sebagai Taiwan, tetapi khusus untuk ajang olahraga menggunakan nama China Taipei atau Chinese Taipei.
Lantas, mengapa Taiwan disebut China Taipei atau Chinese Taipei dalam pertandingan olahraga, termasuk Olimpiade?
Kenapa Taiwan disebut Chinese Taipei?
Nama "Chinese Taipei" yang kerap digunakan dalam ajang olahraga internasional adalah hasil kompromi politik antara Taiwan dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1981.
Dikutip dari Radio Free Asia, kesepakatan ini dibuat untuk mengizinkan atlet-atlet Taiwan berpartisipasi tanpa dipermasalahkan oleh kedaulatan negara secara resmi.
Namun, alih-alih membawa bendera nasional Taiwan yang berwarna merah dan biru, para atlet tampil di bawah "Plum Blossom Banner", yakni bendera putih bergambar bunga nasional Taiwan serta simbol lima cincin Olimpiade.
Saat meraih medali pun, bukan lagu kebangsaan Taiwan yang dikumandangkan, melainkan lagu pengibaran bendera tradisional.
Kompromi ini memungkinkan Taiwan ikut serta di ajang internasional tanpa harus menyatakan diri sebagai negara berdaulat, sesuatu yang sangat ditentang oleh China.
Namun, secara diplomatis, Taiwan tidak diakui oleh sebagian besar negara, termasuk tidak menjadi anggota PBB.
Perselisihan ini berakar dari sejarah panjang sejak akhir Perang Saudara China pada 1949.
Ketika itu, pemerintah Nasionalis yang kalah melarikan diri ke Taiwan, sedangkan kelompok Komunis di bawah Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat China di daratan utama.
Pemerintah Beijing sejak saat itu mengeklaim hanya ada satu China, dan Taiwan adalah bagian dari wilayahnya yang sah. Beijing pun menolak segala bentuk pengakuan internasional terhadap Taiwan sebagai negara.
Sebagai bagian dari strategi diplomatiknya, China menekan berbagai lembaga internasional agar tidak menggunakan nama "Taiwan" dalam forum global, termasuk dalam ajang olahraga.
Riwayat penggunaan nama Chinese Taipei
Kontroversi mengenai representasi Taiwan dalam dunia olahraga internasional bermula pada Olimpiade 1952, ketika Taiwan dan China sama-sama diundang.
Oleh karena keduanya sama-sama mengeklaim wakil sah dari China, Taiwan akhirnya mundur dari keikutsertaan.
Beberapa tahun kemudian, Taiwan sempat berpartisipasi dengan nama "China-Formosa" pada Olimpiade 1956, yang kemudian diboikot oleh Beijing. China lalu menarik diri dari IOC dua tahun setelahnya.
Selama dekade 1960-an, IOC menyarankan agar Taiwan tampil dengan nama "Taiwan". Namun, Pemerintah Taiwan saat itu menolak dan bersikeras disebut sebagai "Republik China" (ROC).
Situasi mulai berubah pada 1970-an, ketika semakin banyak negara mengalihkan pengakuan diplomatik mereka dari Taipei ke Beijing.
Taiwan pun kali terakhir tampil sebagai ROC di Olimpiade 1972, dan memboikot Olimpiade 1976 setelah tuan rumah Kanada menolak penggunaan nama ROC.
Setelah IOC mengakui Beijing sebagai perwakilan sah China pada 1979, Taiwan diskors dari Olimpiade.
Baru pada 1981, Taiwan kembali diizinkan berpartisipasi setelah menyetujui penggunaan nama "Chinese Taipei", nama yang tetap digunakan hingga saat ini.
Pada awal Agustus 2025, Formosan Association for Public Affairs (FAPA), organisasi nirlaba di Amerika Serikat yang mendukung kemerdekaan Taiwan, mendesak IOC agar mengizinkan tim Taiwan tampil dengan nama "Taiwan", bukan "Chinese Taipei".
"Taiwan adalah negara yang merdeka dan berdaulat, dan ini adalah status quo yang telah lama ada," kata Presiden FAPA.
"Tim Olimpiade Taiwan berhak penuh untuk bertanding dengan bangga menggunakan nama 'Taiwan'," ujarnya menegaskan.
Referendum untuk mengganti nama "Chinese Taipei" pernah dilakukan di Taiwan pada 2018.
Namun, mayoritas pemilih menolak perubahan tersebut. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran atlet papan atas akan dilarang mengikuti ajang olahraga besar akibat tekanan dari China.
Sejak Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menjabat pada 2016 dan kini diteruskan oleh Lai Ching-te atau William Lai, China semakin meningkatkan tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Taipei.
Tsai dan Partai Progresif Demokratik (DPP) yang dipimpinnya menolak prinsip "Satu China", yang dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan Taiwan.
Presiden Taiwan saat ini, Lai Ching-te, yang memenangi pemilu pada Januari 2025, melanjutkan kebijakan Tsai.
Ia menekankan pentingnya menjaga perdamaian di Selat Taiwan, tanpa harus mengorbankan klaim kedaulatan pulau tersebut.
https://www.kompas.com/global/read/2025/09/05/212417870/kenapa-taiwan-disebut-chinese-taipei-di-ajang-olahraga