JAKARTA, KOMPAS.com – Kebijakan tarif impor sebesar 19 persen yang disahkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengguncang bisnis udang Indonesia.
Dampaknya terasa hingga ke kolam-kolam tambak di ujung barat daya Pulau Jawa, tempat Denny Leonardo mengelola usaha keluarganya.
Denny (30) awalnya berencana menambah sekitar 100 kolam baru dari total 150 kolam yang sudah ada, seperti dilansir Reuters.
Baca juga: Trump Rilis Daftar Tarif Impor Baru untuk 70 Negara, 2 Negara ASEAN Dikenai Tarif Tinggi
Namun, rencana itu terhenti ketika pesanan dari AS merosot tajam setelah ancaman tarif pertama Trump pada April lalu.
“Dengan tekanan dari AS terhadap ekspor Indonesia, semua orang sekarang sibuk mencari peluang baru untuk diversifikasi, supaya tidak terlalu bergantung pada AS,” ujar Denny, mengingat pengumuman tarif terbaru pada Juli lalu.
Mulai pekan ini, tarif impor udang Indonesia ke AS resmi menjadi 19 persen, lebih rendah dari rencana awal 32 persen, tetapi tetap memberatkan bagi para petani tambak udang.
Diketahui, AS selama ini menjadi pasar terbesar bagi udang Indonesia, menyerap 60 persen dari total ekspor senilai 1,68 miliar dollar AS (sekitar Rp 27 triliun) pada tahun lalu.
Ketua Asosiasi Petambak Udang Indonesia, Andi Tamsil, memperkirakan kenaikan tarif tersebut dapat memangkas ekspor hingga 30 persen tahun ini dibandingkan 2024.
“Itu berarti mata pencaharian sekitar satu juta pekerja terancam,” tegasnya.
Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo, sebagian besar pembeli AS masih menahan pesanan udang meski sudah ada kesepakatan tarif Juli lalu.
Budhi menilai, tarif 19 persen membuat Indonesia kalah bersaing dengan Ekuador, produsen udang budidaya terbesar di dunia, yang hanya dikenakan tarif impor sebesar 15 persen.
Baca juga: Tarif Impor AS dari RI Turun Jadi 19 Persen, tapi Ada Ancaman Mengintai
China adalah importir udang terbesar di dunia dengan volume sekitar 1 juta ton per tahun.
Namun, impor udang yang dilakukan China dari Indonesia hanya sebesar 2 persen.
Hal itu karena petambak udang Indonesia lebih memilih pasar AS yang sanggup membeli dengan harga lebih tinggi.