Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RI Borong 48 Jet Tempur KAAN Saat APBN Tekor, Ekonom: Mau Bayar Pakai Apa?

Kompas.com - 06/08/2025, 11:53 WIB
BBC INDONESIA,
Inas Rifqia Lainufar

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia memborong 48 unit pesawat tempur KAAN dari Turkiye seharga lebih Rp 160 triliun.

Kesepakatan itu dilakukan di tengah APBN yang tekor dan kebijakan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto. Sumber dana pembelian jet tempur itu dipertanyakan oleh ekonom.

Bhima Yudhistira, Direktur lembaga riset Center for Economic and Law Studies (Celios), menyebut sekitar 25 persen (sekitar Rp 552 triliun) penerimaan pajak habis untuk membayar bunga utang negara yang mencapai Rp 800 triliun.

Baca juga: Media Asing Heran, Indonesia Hobi Beli Jet Tempur padahal Anggaran Terbatas

Baru-baru ini Kementerian Keuangan juga memperkirakan defisit APBN sepanjang 2025, mencapai sekitar Rp 662 triliun.

"Saya tidak mengerti, mau dibayar pakai apa? Uangnya [APBN] sudah hampir tidak ada, kecuali menambah utang. Tapi itu bisa membuat terperangkap utang dan menjadi negara yang gagal secara sistemik," kata Bhima Yudhistira, Senin (4/8/2025).

Di sisi lain, Bhima menambahkan, jika pembelian dengan anggaran yang jumbo itu menggunakan APBN maka "berpotensi menurunkan pos alokasi anggaran untuk belanja prioritas, seperti pendidikan, dan kesehatan."

Biaya pembelian pesawat KAAN lebih besar dari total dana abadi pendidikan LPDP sebesar Rp 154 triliun, atau sepertiga dari anggaran perlindungan sosial Rp 504,7 triliun yang menyasar puluhan juta warga.

Pembelian pesawat tempur ini bukan yang pertama kali di bawah komando Prabowo.

Saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo juga memesan 42 jet tempur Rafale dari Perancis dengan nilai kontrak lebih dari Rp 130 triliun dan membeli sederet persenjataan lainnya.

Dari sisi pertahanan, pakar militer BRIN, Muhamad Haripin, menyebut pembelian pesawat jet tempur memang dibutuhkan dalam rangka modernisasi kekuatan pelindung langit Indonesia.

Namun, katanya, pemerintah harus secara seksama mempertimbangkan skema pembiayaan, kesiapan personel, dan pembaruan doktrin agar pesawat-pesawat itu dapat optimal dan berguna.

Terkait pandangan pengamat itu, BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemhan, Brigjen Frega Wenas Inkiriwang. Namun hingga artikel ini diterbitkan, belum ada tanggapan.

Menteri Sekretarias Negara, Prasetyo Hadi, sebelumnya mengatakan tidak ada yang salah dengan kontrak pembelian jet tempur itu, meskipun saat ini pemerintah tengah mewajibkan efisiensi anggaran untuk menopang perekonomian.

"Efisiensi bukan berarti tidak berbelanja. Memperkuat pertahanan dengan menggunakan alutsista-alutsista memang itu kita butuhkan, kita perlukan," kata Prasetyo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, (4/8/2025).

'Mau dibayar pakai apa?'

Pemerintah Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian 48 jet tempur KAAN dari Turkiye, dalam rangkaian pameran pertahanan internasional (IDEF) 2025 di Istanbul, Sabtu (26/7/2025).

Penandatanganan itu disebut Kemhan sebagai tindak lanjut dari kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua negara pada 11 Juni 2025, dalam rangkaian acara Indo Defence di Jakarta, yang disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo.

Namun, ekonom Bhima Yudhistira menyebut rencana pembelian yang menyerap dana besar itu memunculkan pertanyaan: mau dibiayai pakai apa?

"Saya tidak mengerti mau dibayar pakai apa? Uangnya [APBN] sudah hampir tidak ada karena defisitnya 2,78 persen [dari PDB], atau Rp 662 triliun," kata Bhima.

Jika kemudian mau dipaksakan dengan APBN yang sedang tekor, kata Bhima, konsekuensinya akan menurunkan pos alokasi anggaran belanja prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

"Jadi APBN memang sudah hampir tidak ada ruang lagi untuk bermanuver, seperti membeli alat pertahanan keamanan dengan alokasi anggaran yang sangat besar," katanya.

Pilihan lainnya, kata Bhima, adalah dengan menambah utang.

Namun sayangnya, kewajiban Indonesia sampai akhir 2024, termasuk utang, telah mencapai Rp10.269 triliun.

Lebih spesifik, kata Bhima, sekitar 25 persen (Rp 552 triliun) penerimaan pajak habis untuk bayar bunga utang yang jatuh tempo tahun ini, mencapai Rp 800 triliun.

Selain itu, Bhima mencontohkan, porsi bunga utang terhadap belanja pendidikan di 2025 sebesar 76,3 persen, dan jika dibandingkan belanja kesehatan mencapai 256 persen.

"Jadi kalau ditambah lebih besar lagi maka Indonesia dianggap berpotensi sebagai negara yang gagal secara sistemik. Artinya belanja bunga utangnya lebih tinggi daripada belanja kesehatan atau belanja pendidikan."

"Itu sudah masuk dalam kondisi gagal sistemik dan itu dengan skenario tidak terjadi resesi ekonomi. Kalau terjadi resesi ekonomi, pastinya ruang fiskalnya sudah tidak ada sama sekali," ujar Bhima.

Anggota Komisi I DPR Oleh Soleh sebelumnya sempat berkata, pemerintah harus benar-benar memperhitungkan aspek pembiayaan secara cermat, agar tidak membebani APBN.

Halaman:

Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau