Penulis: Serdar Vardar/DW Indonesia
KOMPAS.com - Selama bertahun-tahun, ornitolog Estonia Leho Luigujoe mengamati kawanan burung-burung di tengah kesunyian lahan basah di dekat Danau Vortsjarv. Namun belakangan dia menyaksikan perubahan drastis pada lanskap berumput yang dulu sangat dia kenal.
Padang rumput lentur yang pernah menjadi benteng terakhir burung betet besar yang langka, telah hilang. Burung betet besar dikenali lewat paruh panjang dan nyanyian kawinnya yang khas.
Di sana, kini berjajar rapi pohon birch dan cemara, ditanam dalam garis lurus di atas rawa. Padang rumput berawa yang dulu hidup kini perlahan berubah menjadi hutan. Burung-burung pun terdiam.
Ketika Luigujoe mencoba memahami apa yang terjadi, jawaban yang didapatnya adalah sebuah ironi.
Pohon-pohon itu ternyata ditanam sebagai bagian dari proyek kredit karbon, dirancang untuk membantu melawan perubahan iklim dengan mengimbangi emisi bahan bakar fosil yang dilepaskan ke atmosfer.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Menimbulkan Emisi Karbon yang Besar
Prinsipnya begini: untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan, setiap perusahaan bisa membeli kredit penghapusan yang membiayai proyek pengurangan gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang sama di tempat lain: misalnya dengan mengubah limbah organik menjadi biochar atau menggunakan teknologi penyerapan langsung GRK.
Harga kredit semacam itu berkisar antara sekitar 100 dolar AS hingga lebih dari 1.000 dolar, bahkan bisa lebih.
Pilihan yang lebih murah adalah kredit yang mencegah emisi lebih lanjut, misalnya dengan melindungi hutan agar tidak ditebang. Kredit ini biasanya dihargai antara 5–10 dolar AS per ton GRK.
Ada dua jenis pasar karbon utama: wajib dan sukarela. Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (ETS), misalnya, bersifat wajib, secara hukum membatasi emisi di sektor energi, semen, baja, dan penerbangan. Tujuannya mengurangi emisi industri secara bertahap di Eropa.
Sementara itu, pasar sukarela memungkinkan perusahaan membeli kredit demi pencitraan, atau untuk memenuhi tolok ukur tata kelola Lingkungan, Sosial dan Pemerintahan atau ESG yang bisa membantu mengakses pembiayaan hijau atau subsidi.
Baca juga: Upaya Keras Singapura Capai Target Nol-Karbon pada 2050
Jika ETS diawasi ketat dan diaudit, pasar sukarela beroperasi jauh lebih longgar. Menurut platform riset nirlaba Ecosystem Marketplace, nilainya mencapai 2 miliar dollar AS pada 2023, tapi nyaris tanpa aturan global maupun pengawasan universal.
Siim Kuresoo dari FERN, sebuah LSM kebijakan hutan di Brussel dan Inggris, mengatakan pasar karbon sukarela memperlakukan hutan layaknya angka di atas kertas.
"Kompensasi berbasis hutan berfungsi sebagai kartu ‘bebas penjara' ala Monopoli bagi perusahaan yang enggan mengurangi emisinya sendiri," ujarnya.
Nerijus Zableckis, pimpinan LSM Lithuania Foundation for Peatlands Restoration and Conservation, menyebut hal paling mengkhawatirkan di negaranya adalah nama-nama orang yang masuk ke sistem kredit karbon. Ia menilai banyak di antaranya adalah spekulan dan penipu.
Baca juga: Bumi Kian Terpuruk, Polusi Karbon Dioksida Catatkan Rekor Tertinggi pada 2021