Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rachland Nashidik
Entrepteneur, Penulis

Pendiri IMPARSIAL - the Indonesian Human Rights Monitor. Sebelumnya, ikut mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), kemudian Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) dan SETARA Institute. Sejak tahun 2010 menjadi kader Partai Demokrat.

Politik Ingatan: Dari Museum Smithsonian ke Indonesia

Kompas.com - 22/08/2025, 15:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini memerintahkan review kuratorial terhadap delapan Smithsonian Museums.

Berdiri sejak 1846, inilah lembaga nirlaba semi-pemerintah yang memiliki jaringan museum dan pusat penelitian terbesar di dunia, dengan lebih dari 20 museum—mayoritas di Washington D.C.

Trump menilai Smithsonian terlalu menekankan sejarah perbudakan dalam narasi kelahiran bangsa Amerika.

Baginya, hal itu menjadikan Smithsonian corong ideologi WOKE. Trump menuntut agar museum justru menonjolkan “kebanggaan Amerika” --patriotisme, persatuan, dan exceptionalism—sebagai pusat narasi, bukan trauma perbudakan.

Ia mengultimatum: kurasi harus diubah dalam 120 hari—atau museum menghadapi audit, gugatan hukum, dan pemotongan dana federal.

Sebelumnya, Trump berseteru dengan The New York Times mengenai 1619 Project. Diluncurkan 2019, proyek jurnalistik ini menulis bahwa perbudakan adalah bagian fondasional dari sejarah berdirinya Amerika Serikat.

Baca juga: United States of Apartheid?

Titik awal sejarah Amerika ditarik ke kedatangan kapal budak Afrika pertama di Virginia pada 1619.

Trump menolak keras. Baginya, narasi itu merusak kebanggaan nasional. Sebagai tandingan, ia membentuk 1776 Commission, yang menyatakan kelahiran Amerika dimulai dengan Declaration of Independence 1776, bukan perbudakan.

Pertarungan inilah yang kemudian menjadi bingkai bagi tekanannya terhadap Smithsonian. Sengketa kuratorial bukan sekadar soal masa lalu, melainkan soal siapa yang berhak menguasai ingatan kolektif bangsa.

Politik ingatan

Sejarah memang tak pernah sekadar catatan masa lalu. Ia adalah medan perebutan makna yang tak pernah jeda untuk memengaruhi ingatan kolektif dan membentuk identitas bangsa.

Dalam kerangka itu, serangan Trump pada Smithsonian jelas bukan sekadar urusan kuratorial. Ia adalah upaya sistematis untuk mengganti kejujuran historis dengan mitos kebangsaan yang steril dari noda perbudakan.

Trump gagal melihat: ingatan tentang penderitaan budak Afrika atau diskriminasi rasial sebenarnya tak perlu dipandang sebagai beban, apalagi ancaman. Itu justru pengingat konstan bahwa Amerika Serikat lahir dari perjuangan melawan ketidakadilan.

Baca juga: Mimpi Amerika: Jalan yang Bercabang

Lihatlah, Jerman memilih jalan sebaliknya. Bangsa ini menatap masa lalunya tanpa bersembunyi.

Museum dan monumen didirikan di jantung kota—yang paling menonjol adalah Memorial to the Murdered Jews of Europe di Berlin.

Inilah hamparan beton kelabu yang membentang berhampiran dengan gerbang Brandenburg, dengan pusat dokumentasi di bawah tanah yang mengabadikan nama-nama tiga juta Yahudi korban Holocaust. Sebuah pengingat kolektif bahwa kebisuan terhadap kekejaman jangan diulangi.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau