Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melakukan Konservasi dengan Mengembalikan Anggrek yang Pernah Hilang dari Merapi

Kompas.com - 19/03/2025, 09:02 WIB
Wisnubrata

Penulis

KOMPAS.com - Joko Susanto masih ingat betul bahwa dulu hutan di lereng Gunung Merapi dipenuhi pohon-pohon besar dan banyak tanaman anggrek yang menempel di batang-batangnya. Anggrek yang dijumpai di hutan itu tidak seperti yang dijual di toko yang bunganya besar dan berwarna-warni. Kebanyakan kembangnya kecil saja, tapi kenampakannya eksotis.

Namun ada suatu masa di mana pohon-pohon itu ditebang, tanahnya dicangkuli, dan ditanami berbagai sayur, rumput pakan ternak, dan tembakau. Hutan yang tadinya lebat berubah jadi tanah miring yang gundul, dan mulailah ada kejadian tanah longsor, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terdengar.

"Dulu kalau kami main ke hutan, jalan beberapa meter saja akan melihat anggrek. Tapi karena dulu dianggap tidak bertuan, maka hutan pun dicangkuli untuk ditanami sayur dan tembakau. Ketika pohon-pohon besar habis ditebang, anggrek yang menempel di batangnya ikut hilang," ujar Joko menerawang.

Selain itu, pada tahun 1980-1990, banyak orang dari luar daerah mengambil anggrek di kawasan hutan lereng Merapi. Kala itu, warga tak mengetahui anggrek yang diambil ternyata laku dijual. Setelah mengetahui nilainya, sebagian warga ikut mengambil, meski banyak juga yang ditanam sendiri di halaman. Lebih dari 70 spesies anggrek yang tadinya menjadikan hutan Merapi sebagai rumahnya, lambat laun menghilang.

Namun keadaan berubah ketika tahun 2004 Presiden Megawati meresmikan hutan tempat bermain Joko di masa kecil menjadi Taman Nasional Gunung Merapi. Dengan status Taman Nasional, orang tidak bisa sembarangan masuk, harus ada ijin, sehingga daerah itu perlahan menjadi hutan kembali.

Baca juga: Menjaga Air di Lereng Merapi lewat Kopi dengan Aroma Mawar

Adapun gerbang Taman Nasional Gunung Merapi terletak di ujung jalan Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali. Dari depan rumah Joko, gerbang taman nasional itu terlihat. Untuk menuju ke sana kita cukup berjalan kaki tak sampai 5 menit di aspal yang menanjak. Gerbangnya sederhana saja, hanya berupa gapura dari besi tua. Di pinggir jalan ada papan petunjuk yang termakan usia, dan di balik gerbang, jalan aspal berganti jadi jalan setapak berbatu.

Awalnya perubahan hutan menjadi taman nasional sempat menimbulkan protes karena masyarakat sudah terbiasa bertani di sana. Namun lambat laun mereka menyadari pentingnya kawasan ini sebagai daerah konservasi dan wilayah resapan air. Menghutankan kembali lereng Merapi dipahami bukan sekedar menjaga pasokan air, melainkan juga menjaga wilyah itu dari bencana longsor.

Meski demikian, saat itu penanaman pohon belum dilakukan secara masif. Baru setelah erupsi besar tahun 2010, Gunung Merapi kembali mendapat perhatian, dan ada program pendanaan dari Jepang yang mengajak anak-anak muda setempat menanam kembali pohon-pohon asli Merapi. Pohon-pohon itu antara lain Puspa, Asam Londo, Waru Gunung, Tutup, Suren, Nogosari, Dadap, dan lainnya.

"Dari situ kami warga di Dukuh Gumuk mulai menanam pohon asli di tempat yang ketika itu sudah menjadi Taman Nasional," papar Joko, Rabu (19/2/2025).

Mengembalikan anggrek ke Merapi

Tempat pembibitan dan pembesaran anggrek Kelompok Tani Karya Muda di Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali, yang berada di lereng timur Gunung MerapiKompas.com/Wisnubrata Tempat pembibitan dan pembesaran anggrek Kelompok Tani Karya Muda di Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali, yang berada di lereng timur Gunung Merapi

Ketika pohon mulai tumbuh dan hutan makin hijau, ada yang dirasa masih kurang: Joko dan teman-temannya tidak lagi menjumpai anggrek sebanyak dulu. "Kami pernah mencoba naik sampai puncak Merapi dan tidak menemukan anggrek. Padahal dulu, jalan beberapa meter saja pasti ketemu berbagai jenis," ujarnya. 

Joko sebenarnya tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Namun pada tahun 2017 ada program dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) dan CSR Aqua yang mengajak warga untuk melakukan konservasi di daerah resapan, termasuk di wilayah Desa Mriyan dan sekitarnya. 

Sebagai catatan, Kecamatan Tamansari adalah daerah resapan air yang membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur. Air yang meresap di sini akan muncul di permukaan antara lain sebagai umbul atau mata air yang banyak ditemukan di Klaten, dan sebagai sungai Pusur yang mengairi sawah-sawah hingga sampai Delanggu. 

Karena tujuan LPTP adalah membantu masyarakat pedesaan dalam mengembangkan potensi lokal, maka warga diminta memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan dalam program konservasi tersebut.

"Kami lalu berpikir, kegiatan apa yang selaras dengan konservasi? Kami kan sudah melakukan penanaman pohon. Tapi untuk menjaga agar pohon yang ditanam tetap lestari, muncullah ide menanam anggrek di pohon inang untuk melindungi pohon itu," ujarnya. "Selain mengembalikan kondisi hutan seperti dulu, menanam anggrek di batang-batang pohon juga akan mencegah orang menebang pohon tersebut."

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau