Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Anggur Mungkin Berbeda Karena Perubahan Iklim

Kompas.com - 25/05/2025, 13:00 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Earth.com

KOMPAS.comAnggur bukan sekadar minuman. Ia adalah cermin dari tempat asalnya – sebuah pantulan dari iklim, tanah, dan musim yang membentuknya. Dari lereng tinggi Mendoza di Argentina hingga perbukitan lembut Tuscany di Italia, sebotol anggur mencerminkan kisah panjang tradisi dan alam.

Namun, kisah tersebut kini memasuki bab baru. Iklim yang selama ini menopang pertumbuhan anggur tidak lagi stabil. Pemanasan global tak hanya menaikkan suhu rata-rata, tetapi juga mengacaukan irama musim tanam, mempercepat waktu panen, dan bahkan menggeser wilayah produksi anggur ke tempat-tempat yang sebelumnya tak terpikirkan.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Anggur Cepat Matang, Punya Gula Lebih Tinggi

Terroir dan Gejolak Iklim

Dalam dunia anggur, istilah terroir mencerminkan karakter khas suatu wilayah – campuran unik antara tanah, cuaca, dan lokasi. Tetapi kini, perubahan iklim mengancam kesucian terroir. Dr. Elizabeth M. Wolkovich dari University of British Columbia memimpin sebuah studi global besar yang mengungkap betapa luasnya dampak perubahan iklim terhadap wilayah anggur di seluruh dunia.

"Sebagai seseorang yang telah berkunjung ke Eropa selama lebih dari 15 tahun, saya menyaksikan langsung meningkatnya gelombang panas. Namun ketika melihat data, saya terkejut melihat seberapa besar perubahan yang sebenarnya terjadi," ungkap Dr. Wolkovich.

Baca juga: Apa Saja Kandungan Buah Anggur? Ini Daftarnya...

Anggur: Tanaman yang Rentan

Anggur adalah salah satu tanaman tahunan yang paling sensitif terhadap perubahan iklim. Tidak seperti tanaman musiman yang bisa diganti lokasi tanamnya, kebun anggur membutuhkan waktu dan investasi jangka panjang. Itulah mengapa perubahan iklim – khususnya suhu ekstrem – bisa berdampak besar terhadap kualitas dan hasil panen.

Dengan suhu yang makin tinggi, anggur matang lebih cepat, menghasilkan kadar gula dan alkohol yang lebih tinggi namun dengan keasaman dan kompleksitas yang lebih rendah. Rasa berubah – begitu pula nilai pasar.

Di sisi lain, wilayah yang dulu terlalu dingin kini menjadi primadona baru. Inggris dan Tasmania, misalnya, mulai menarik perhatian sebagai kawasan penghasil anggur masa depan.

Baca juga: Apa yang Terjadi jika Makan Buah Anggur Setiap Hari?

Studi Global yang Komprehensif

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal PLOS Climate, Dr. Wolkovich dan tim menganalisis lebih dari 500 varietas anggur yang ditanam di 620 wilayah di seluruh dunia. Mereka memeriksa 10 metrik iklim penting seperti suhu saat dormansi musim dingin, suhu ekstrem saat pertumbuhan, serta curah hujan menjelang panen.

Menggunakan beragam sumber data – termasuk Berkeley Earth dan koleksi INRAE Domaine de Vassal – mereka membangun model yang menggambarkan perubahan iklim dengan dan tanpa mempertimbangkan variasi varietas anggur yang ditanam.

Hasilnya mencerminkan realitas yang kompleks: perubahan iklim tidak terjadi seragam. Eropa, Amerika, Afrika, Asia – semuanya mengalami perubahan, tetapi dengan ritme dan dampak yang berbeda.

Baca juga: Perubahan Iklim Membuat Hari Lebih Panjang, Kok Bisa?

Eropa Memanas, Dunia Menggeser Arah

Wilayah Eropa menunjukkan perubahan paling drastis. Suhu maksimum meningkat lebih dari 2°C selama musim tanam, dengan lonjakan hari-hari di atas 35°C – sebuah perubahan ekstrem yang terkonfirmasi secara statistik.

Wilayah seperti Bordeaux, Burgundy, dan Rhône Valley – simbol klasik anggur Eropa – kini menghadapi ancaman pematangan terlalu cepat. Kadar gula melonjak, keasaman menurun, keseimbangan rasa pun terganggu.

Sementara itu, Amerika Utara dan Selatan menunjukkan peningkatan yang lebih moderat. Afrika Utara dan Asia Barat, meskipun mengalami perubahan suhu yang lebih kecil, tetap menghadapi risiko besar karena kondisi awalnya sudah panas – termasuk risiko kebakaran, stres tanaman, dan penurunan hasil.

Baca juga: Krisis Iklim Berdampak pada Warna dan Perkawinan Serangga

Ilustrasi tanaman anggurUnsplash/David Köhler Ilustrasi tanaman anggur

Panas Lebih Berpengaruh dari Dingin

Salah satu temuan mengejutkan dalam studi ini adalah bahwa panas ekstrem berubah jauh lebih besar dibandingkan dingin ekstrem. Ini menantang ekspektasi umum yang selama ini lebih fokus pada risiko embun beku atau suhu rendah.

"Awalnya saya kira perubahan terbesar akan terjadi pada suhu minimum, seperti suhu dingin saat tunas muncul atau saat panen. Namun ternyata, metrik terkait suhu tinggi yang justru paling berubah," kata Dr. Wolkovich.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau