KOMPAS.com - Selama ini, kita mengenal Big Bang sebagai "awal mula" alam semesta — momen ketika ruang, waktu, dan materi tercipta dari satu titik yang sangat padat dan panas. Namun, bagaimana jika itu bukan permulaan sesungguhnya? Bagaimana jika alam semesta kita justru lahir dari sesuatu yang lebih familiar — dan sekaligus lebih radikal?
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan di Physical Review D mengusulkan teori mencengangkan: Big Bang bukanlah permulaan mutlak, melainkan hasil dari proses keruntuhan gravitasi yang membentuk lubang hitam sangat masif — dan di dalamnya terjadi "pantulan" (bounce) yang memunculkan alam semesta kita.
Teori ini, yang disebut sebagai "alam semesta lubang hitam" (black hole universe), menawarkan cara pandang baru tentang asal-usul kosmos. Uniknya, teori ini sepenuhnya berdasar pada fisika yang telah dikenal, tanpa spekulasi atau hipotesis yang belum teruji.
Baca juga: Apakah Bumi Terjebak di Dalam Kekosongan Raksasa di Alam Semesta?
Model standar kosmologi saat ini, yang menggabungkan Big Bang dan inflasi kosmik (fase perluasan alam semesta yang sangat cepat di awal waktu), memang sangat sukses menjelaskan struktur dan evolusi alam semesta. Namun, model ini datang dengan harga yang mahal: banyak pertanyaan mendasar masih belum terjawab.
Salah satu masalah utama adalah keberadaan "singularitas" pada saat Big Bang — titik dengan kerapatan tak terhingga di mana hukum fisika tidak lagi berlaku. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan pertanda bahwa kita mungkin belum benar-benar memahami awal mula segalanya.
Model ini juga memerlukan tambahan "zat misterius" seperti energi gelap untuk menjelaskan percepatan ekspansi alam semesta saat ini, dan inflaton — bidang hipotesis yang menyebabkan inflasi kosmik. Semua ini belum pernah diamati secara langsung.
Lantas, pertanyaan besar tetap menggantung:
Baca juga: Lubang Hitam: Misteri Tergelap di Alam Semesta
Untuk menjawab teka-teki tersebut, Enrique Gaztanaga, Profesor di Institut Kosmologi dan Gravitasi, Universitas Portsmouth menawarkan pendekatan berbeda: bukan menelusuri ke belakang dari alam semesta yang mengembang, melainkan melihat ke dalam — mempelajari apa yang terjadi ketika materi sangat padat runtuh oleh gravitasinya sendiri.
Dalam dunia astrofisika, keruntuhan semacam ini umum terjadi. Misalnya, bintang yang runtuh bisa membentuk lubang hitam, objek yang sangat dipahami dalam fisika. Tapi apa yang terjadi di dalam lubang hitam, tepatnya di balik horizon peristiwa (batas di mana tidak ada yang bisa lolos), masih menjadi misteri.
Pada 1965, fisikawan Inggris Roger Penrose membuktikan bahwa keruntuhan gravitasi akan menghasilkan singularitas. Bukti ini kemudian dikembangkan oleh Stephen Hawking dan menjadi dasar teori bahwa singularitas — seperti di awal Big Bang — tidak terhindarkan.
Namun, teorema ini berlaku hanya dalam kerangka fisika klasik. Jika kita memasukkan efek mekanika kuantum, yang menjadi hukum dunia partikel dan atom, cerita bisa berubah drastis.
Baca juga: 5 Fakta Menarik tentang Teori Big Bang, Sejarah Alam Semesta
Dalam makalah barunya, Gaztanaga dan tim menunjukkan bahwa keruntuhan gravitasi tidak harus berakhir dengan singularitas. Berdasarkan solusi matematis yang eksak dan tanpa pendekatan, mereka menemukan bahwa awan materi yang sangat padat dapat berhenti runtuh, dan justru mengalami pantulan ke fase ekspansi baru.
Yang membuat ini mungkin adalah prinsip eksklusi kuantum — aturan dalam fisika kuantum yang menyatakan bahwa dua partikel identik (fermion) tidak bisa menempati keadaan kuantum yang sama secara bersamaan. Prinsip ini mencegah partikel runtuh hingga kerapatan tak terbatas.
Dengan kata lain, keruntuhan berhenti sebelum mencapai singularitas — dan pantulan menjadi tak terhindarkan, asalkan kondisi tertentu terpenuhi.
Hebatnya lagi, pantulan ini terjadi sepenuhnya dalam kerangka relativitas umum dan mekanika kuantum standar. Tidak diperlukan bidang eksotik, dimensi tambahan, atau teori spekulatif lainnya.
Baca juga: Fakta-fakta Menarik tentang Teori Big Bang