Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Bangkitkan Kembali “Serat Emas” Romawi Kuno dari Kerang

Kompas.com - 09/08/2025, 12:33 WIB
Wisnubrata

Penulis

KOMPAS.com - Serat emas yang dulu hanya menghiasi busana kaisar Romawi kini bangkit kembali berkat teknologi modern. Para peneliti dari POSTECH (Pohang University of Science and Technology), Korea Selatan, berhasil menciptakan kembali tekstil legendaris berusia 2.000 tahun yang dikenal sebagai Sea Silk—kain ringan, kuat, dan berkilau emas yang terkenal tak pernah pudar.

Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Advanced Materials, dan menjadi jawaban atas tantangan melestarikan warisan tekstil dunia yang nyaris punah.

Warisan Mewah dari Laut Mediterania

Pada masa kejayaan Romawi, Sea Silk dibuat dari benang halus (byssal threads) milik sejenis kerang moluska raksasa Pinna nobilis. Kain ini begitu eksklusif sehingga hanya dipakai oleh tokoh penting seperti kaisar dan paus. Kilau emasnya bukan hasil pewarnaan, melainkan pantulan alami dari struktur mikroskopis serat.

Sayangnya, polusi laut dan penangkapan berlebih membuat Pinna nobilis kini terancam punah, dan penangkapannya dilarang. “Di seluruh Eropa, hanya ada satu pengrajin yang masih diizinkan memanen dan mengolah Pinna nobilis untuk Sea Silk,” ungkap Prof. Hwang Dong Soo, ketua tim peneliti POSTECH.

Baca juga: Rahasia Kama Sutra yang Perlu Anda Tahu

Mengganti Moluska Langka dengan Kerang Lokal

Untuk mencari pengganti yang ramah lingkungan, tim meneliti kerang pen shell (Atrina pectinata) yang umum dibudidayakan di pesisir Korea. Selama ini, benang byssal dari kerang tersebut dianggap limbah tak bernilai dan dibuang begitu saja oleh nelayan.

Meski ukurannya lebih kecil dan seratnya lebih pendek dibanding Pinna nobilis, analisis menunjukkan bahwa keduanya berasal dari keluarga yang sama, dengan struktur kristal X-ray dan urutan protein hampir identik. “Kami fokus pada kesamaan inti keduanya,” jelas Prof. Hwang.

Tapi mengolah limbah menjadi emas bukan perkara mudah. Tim harus meminta nelayan mengumpulkan benang byssal secara terpisah, sesuatu yang biasanya mereka buang. “Kami sampai meminta bantuan khusus pada kepala koperasi nelayan agar bahan ini dipisahkan, demi kebutuhan riset,” kenang Prof. Hwang.

Baca juga: Jangan Lakukan Lagi, Ambil Kerang di Pantai Bisa Rusak Ekosistem

Rahasia Kilau Emas yang Tak Pernah Pudar

Terobosan besar datang ketika Prof. Choi Jimin, penulis utama studi, menemukan penyebab sebenarnya kilau Sea Silk. Warna emas itu bukan dari pewarna, melainkan dari “structural color”—fenomena di mana struktur mikro material menghasilkan warna, mirip kilau sayap kupu-kupu.

Di Sea Silk, struktur ini dibentuk oleh protein berbentuk bola yang dinamai Photonin. Protein tersebut tersusun rapi dalam pola berlapis, dan kerapian pola inilah yang menentukan intensitas kilau emas. Karena warna berasal dari struktur fisik, bukan zat pewarna, serat ini nyaris tidak memudar selama berabad-abad.

Baca juga: Kenapa Kita Tidak Boleh Mengambil Cangkang Kerang dari Pantai?

Dari Limbah Menjadi Produk Bernilai Tinggi

Penelitian ini membuktikan bahwa limbah industri bisa diubah menjadi material bernilai tinggi. Sebagai langkah awal, tim bekerja sama dengan jurusan busana dan tekstil untuk menenun Sea Silk menjadi kain.

Potensi aplikasinya pun luas—mulai dari busana mewah, kosmetik, hingga bahan kuliner. “Jika digiling, Sea Silk menyerupai bubuk emas, dan karena berbahan protein, ia bisa dimakan,” ujar Prof. Hwang.

Kebangkitan Sea Silk bukan hanya tentang menghidupkan kembali kemewahan kuno, tetapi juga membuktikan bahwa inovasi dapat lahir dari hal yang sering kita anggap tak berguna.

Baca juga: Jejak Perubahan Iklim Tercatat pada Cangkang Kerang

 

 

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau