KOMPAS.com - Para ahli paleontologi baru saja mengungkap penemuan luar biasa: spesies kura-kura air tawar purba yang mampu bertahan hidup setelah peristiwa kepunahan massal dinosaurus. Spesies ini diberi nama Tavachelydra stevensoni dan ditemukan melalui fosil cangkang serta material terkait di Formasi Denver, Colorado, Amerika Serikat.
Tavachelydra stevensoni hidup pada awal zaman Paleosen, sekitar 66–65 juta tahun lalu, tepat setelah peristiwa kepunahan besar di akhir era Kapur yang menghapus sebagian besar kehidupan di Bumi, termasuk dinosaurus.
Spesies ini berasal dari keluarga Chelydridae, yaitu kelompok kura-kura air tawar yang mencakup sedikitnya tujuh genus yang sudah punah dan dua genus yang masih hidup hingga kini. Saat ini, anggota keluarga Chelydridae mencakup lima spesies yang tersebar dari Amerika Selatan bagian utara hingga Kanada selatan.
“Meskipun tidak beragam, kura-kura chelydrid merupakan komponen umum di sebagian besar ekosistem air tawar Amerika Utara,” jelas Dr. Tyler Lyson dari Denver Museum of Nature & Science.
Baca juga: Kepunahan Dinosaurus Terjadi karena 2 Kali Tumbukan Asteroid Besar
Temuan fosil ini berasal dari Corral Bluffs Study Area di El Paso County, Colorado. Fosil yang ditemukan berupa cangkang lengkap dan tengkorak dari dua individu Tavachelydra stevensoni.
Dengan panjang cangkang mendekati 50 cm, spesies ini termasuk salah satu kura-kura berukuran besar pada era Paleosen awal. Menariknya, wilayah yang sama juga menyimpan fosil spesies kura-kura lain bernama Denverus middletoni, namun ukurannya jauh lebih kecil—hanya seperempat dari Tavachelydra stevensoni.
Perbedaan ukuran ini diduga menjadi faktor penting dalam mengurangi persaingan, meskipun kedua spesies ini hidup di area geografis yang sama.
Baca juga: Usai Kepunahan Dinosaurus, Mamalia Tumbuhkan Ukuran Tubuhnya untuk Bertahan Hidup
Berdasarkan analisis, Tavachelydra stevensoni kemungkinan hidup di daerah perairan tenang seperti kolam atau aliran air yang tenang. Berbeda dengan Denverus middletoni, spesies ini memiliki tengkorak besar dengan rahang penghancur yang lebar dan rata, ciri khas hewan dengan diet durofagus—yakni pemakan organisme bercangkang keras seperti moluska, kepiting, atau hewan berkulit keras lainnya.
“Kemungkinan besar Tavachelydra stevensoni dan Denverus middletoni menempati relung ekologi berbeda, dengan Tavachelydra memilih lingkungan perairan tergenang dan diet durofagus,” tulis para peneliti.
Yang menarik, kura-kura dengan diet durofagus tercatat memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi melintasi peristiwa kepunahan massal dibanding kura-kura dengan diet non-durofagus.
Selain Tavachelydra, beberapa reptil lain dari lokasi yang sama juga memiliki pola makan serupa, termasuk buaya kecil jenis Wannaganosuchus serta kura-kura baenid seperti Palatobaena knellerorum, Saxochelys gilberti, dan Cedrobaena putorius. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memakan organisme bercangkang keras menjadi strategi penting untuk bertahan hidup pada awal Paleosen.
Baca juga: Penelitian: Kura-Kura Juga Punya Perasaan Seperti Kita
Penemuan ini bukan hanya menambah daftar panjang spesies purba, tetapi juga memberikan petunjuk berharga mengenai strategi adaptasi makhluk hidup setelah bencana kepunahan terbesar di Bumi.
Detail penelitian ini dipublikasikan dalam Swiss Journal of Palaeontology. Temuan ini memperkuat pandangan bahwa kemampuan beradaptasi melalui pola makan menjadi kunci keberlangsungan hidup sebagian reptil, termasuk kura-kura, setelah lenyapnya dinosaurus.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini