KOMPAS.com - Sejumlah warganet di media sosial membicarakan mengenai teman-teman mereka yang tak ikut menyuarakan atau menginformasikan tentang aksi dan tuntutan.
Mereka menyebut bahwa orang-orang yang tak ikut membagikan seputar informasi demo atau tuntutan masyarakat terhadap pemerintah itu sebagai “tone deaf”.
“Sorry ya tapi gue benci temen-temen gue yang masih tone deaf, gapapa gue terima kalau dibully sok ngerti politik, tapi minimal gua bersuara,” tulis akun @bib***** pada Jumat (29/8/2025).
“Ga semua orang bisa demo, termasuk aku (ga dibolehin). tapi minimal banget jangan tone deaf! bantu-bantu share situasi, kasih peringatan ke teman-teman, bantu donasi konsumsi ke para pedemo dan seterusnya. karena sekecil-kecilnya perlawanan adalah perlawanan,” tulis akun @ist****** pada Sabtu (30/8/2025).
Namun, apa sebenarnya tone deaf itu?
Dan benarkah orang-orang yang tak ikut menyuarakan aksi via media sosial atau status dalam layanan perpesesanan instan seperti WhatsApp termasuk orang yang tone deaf?
Apa itu tone deaf?
Psikolog dari Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal mengatakan bahwa secara harfiah, tone deaf artinya adalah "tuli nada".
Istilah tersebut awalnya digunakan untuk orang yang tidak bisa membedakan atau menirukan nada dengan benar saat bernyanyi, sehingga terdengar sumbang. Namun, dalam penggunaan sehari-hari, makna tone deaf telah meluas.
“Dalam penggunaan sehari-hari, makna tone deaf lebih sering digunakan untuk menggambarkan perilaku atau pernyataan yang tidak peka terhadap perasaan atau situasi orang lain,” jelas Danti ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Lebih lanjut, Danti mengatakan seseorang atau suatu pihak dapat disebut tone deaf ketika ada pada situasi tertentu, misalnya:
1. Mengeluarkan pernyataan sensitif atau tidak sesuai dengan suasana yang sedang terjadi
Mengeluarkan pernyataan yang tidak sensitif atau tidak sesuai dengan suasana yang sedang terjadi termasuk dalam salah satu bentuk tone deaf.
Danti mencontohkan, misalnya pada selebritas yang mengunggah foto dirinya sedang berpesta pora di kapal mewah, tepat setelah bencana alam besar melanda.
"Komentar atau foto ini dianggap tone deaf karena tidak peka terhadap penderitaan yang sedang dialami banyak orang," jelas Danti.
2. Gagal memahami perspektif orang lain
Gagal memahami perspektif orang lain juga merupakan bentuk tone deaf. Danti mengatakan bahwa orang tersebut terlalu fokus pada diri sendiri sehingga tidak menyadari dampak dari perkataan atau tindakan mereka.
Sebagai contoh, Danti memisalkan sebuah perusahaan yang mengiklankan produk dengan menonjolkan fitur yang harganya sangat mahal, di saat banyak orang sedang kesulitan finansial.
Iklan tersebut dianggap tone deaf karena tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
3. Memberikan solusi yang tidak relevan terhadap masalah yang serius
Danti menyebut bahwa memberikan solusi yang tidak relevan atau dangkal terhadap suatu permasalahan yang serius juga termasuk dalam bentuk tone deaf.
"Contohnya seperti saat seseorang curhat tentang masalah kesehatan mental yang dialaminya, namun ada yang menjawab 'sudah, jangan sedih terus, coba jalan-jalan saja'," kata Danti.
Jawaban tersebut dapat dianggap tone deaf karena tidak mengakui kompleksitas masalah yang dihadapi.
Menurutnya, tone deaf lebih mengacu pada ketidakpekaan atau ketidakcocokan antara apa yang dikatakan atau dilakukan dengan situasi yang ada.
"Ini adalah tentang salahnya isi pesan atau tindakan, bukan ketiadaan pesan sama sekali," jelas Danti.
Seseorang yang tone deaf, menurut Danti, adalah ketika orang tersebut berkata atau berbuat sesuatu yang tidak peka, tidak relevan, atau tidak sesuai dengan kondisi atau perasaan banyak orang.
"Berbeda dengan diam atau tidak menyuarakan pendapat. Seseorang berarti memilih untuk tidak berkomentar, tidak mengambil sikap, atau tidak terlibat dalam suatu isu," ujarnya.
Terdapat banyak alasan mengapa seseorang memilih diam, berikut beberapa di antaranya.
Jadi, memilih untuk diam adalah sebuah pilihan, dan tidak secara otomatis berarti seseorang itu tidak peka.
"Justru, kadang-kadang, diam adalah pilihan yang lebih bijak daripada menyuarakan sesuatu yang berpotensi menjadi tone deaf," ungkap Danti.
Figur publik yang diam bisa dianggap tidak peduli
Dalam beberapa kasus ekstrem, keheningan dari pihak yang berwenang atau memiliki platform besar bisa dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian oleh publik.
Misalnya, jika seorang figur publik yang punya pengaruh besar diam seribu bahasa saat ada krisis kemanusiaan besar, publik bisa menganggapnya tidak peduli.
Namun, menurut Danti, hal tersebut juga masih berbeda dengan istilah tone deaf.
“Tone deaf adalah kesalahan aktif dalam berbicara, sementara diam adalah ketiadaan tindakan berbicara,” kata Danti.
Contoh kasus tone deaf
Tone deaf seringkali muncul saat menanggapi isu-isu yang membutuhkan empati dan pemahaman mendalam.
Danti pun memberikan contoh kasus mengenai tone deaf.
"Misalnya, terdapat gerakan sosial yang menuntut kesetaraan dan keadilan bagi kelompok minoritas yang sering mengalami diskriminasi," kata Danti.
Lalu, seorang tokoh publik mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama, yang diperlukan hanyalah kerja keras.
Danti mengatakan bahwa hal tersebut merupakan contoh sikap dan pernyataan yang tone deaf. Karena tokoh publik gagal mengakui adanya ketidaksetaraan sistemik dan hambatan struktural dalam kelompok minoritas.
"Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang isu yang kompleks dan mendalam, seolah-olah masalah bisa diselesaikan dengan nasihat sederhana yang tidak relevan," jelasnya.
Singkatnya, tone deaf adalah kegagalan untuk "membaca" situasi dan bereaksi dengan cara yang peka serta empatik.
"Perilaku ini selalu melibatkan ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan atau dilakukan dengan konteks emosional, sosial, atau politik yang sedang terjadi," pungkas Danti.
https://www.kompas.com/tren/read/2025/09/04/164500465/benarkah-orang-yang-tak-bersuara-sudah-pasti-tone-deaf-psikolog-jelaskan