KOMPAS.com - Media sosial X (Twitter) diramikan dengan unggahan warganet yang menawarkan jasa Strava, sebuah aplikasi pelacakan kebugaran dan olahraga yang diluncurkan pada 2009.
Aplikasi ini memungkinkan seseorang untuk melacak aktivitas lari, bersepeda, dan mendaki dengan memanfaatkan data GPS.
Ketenaran aplikasi Strava muncul beriringan dengan tren berolahraga yang semakin meningkat, sehingga pengguna bisa membagikan pencapaiannya ke media sosial.
Lantas, mengapa joki Strava ini bisa muncul?
Baca juga: Kemenkumham Soroti Kasus Peserta UTBK Tunarungu Dipaksa Copot ABD dan Dicurigai Joki
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono mengatakan, fenomena joki Strava ini berorientasi pada pengakuan atas suatu pencapaian.
Menurutnya, proses pengakuan atas pencapaian seseorang yang dianggap kompeten dalam suatu tindakan disebut sebagai kredensialis.
Dia menjelaskan, masyarakat saat ini justru akan lebih tertarik dengan simbol, berupa angka pencapaian di Strava, meskipun tidak selaras dengan kemampuan fisik seseorang.
"Harusnya antara kompetensi lari dengan simbol yang tertulis, tidak berjarak. Artinya, saya benar-benar kuat lari, di Strava itu ditulis apa adanya," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/7/2024).
"Tetapi, faktanya orang itu tertarik bukan pada kemampuan larinya, tetapi pada apa yang tertulis di Strava," sambungnya.
Drajat menuturkan, ketidakpedulian terhadap terhadap orang yang memiliki kemampuan itu memberikan jarak antara realitas dan simbol.
Joki kemudian mengisi jarak kekosongan itu dengan menawarkan sebuah jasa.
"Jadi joki itu mengisi jarak ketidakpedulian pada siapa yang lari. Dia tidak peduli simbol itu, simbol inilah yang dibeli orang lain," jelas dia.
Kendati demikian, Drajat menilai bahwa tren tersebut kemungkinan tidak bertahan lama, karena berolahraga dan mencapai status tertentu bukanlah kebutuhan dasar, seperti ketika membutuhkan ijazah di dunia pendidikan.
Baca juga: Ramai soal Joki Karya Ilmiah di Kalangan Dosen, Segini Tarifnya
Terpisah, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan, sejak awal internet muncul, seseorang memiliki peluang untuk menyembunyikan identitasnya.
Padahal, anonimitas dalam internet akan membuka peluang seseorang untuk berbohong dengan berbagai hal tentang dirinya sendiri.
Terlebih, saat ini media sosial dilengkapi dengan berbagai fitur seperti like, comment, share yang menjadi ukuran pengakuan publik.
“Dalam upaya berkompetisi untuk mendapatkan perhatian publik, maka orang akan bekerja keras untuk mencapai hal itu,” ujar Devie saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/7/2024).
Dalam konteks fenomena joki Strava, orang berlomba-lomba untuk mendapat perhatian publik melalui angka yang dibagikan.
Meskipun perhatian tersebut bersifat artifisial atau tidak nyata, hal itu tetap diinginkan karena bagian dari sisi kemanusiaan.
Baca juga: Penjelasan KAI soal Joki Tas di Kereta Lamongan-Surabaya
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini