Oleh: Wina Kumala, Meike Kurniawati, dan Monika*
BELAKANGAN ini muncul ajakan melakukan cancel culture pada artis, selebgram, sekaligus pengusaha berinisial RA karena suatu alasan. Sebelumnya, beberapa artis juga sempat terkena cancel culture dengan berbagai alasan.
Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat, seorang pejabat publik pernah terkena “cancel” karena statusnya di media sosial dan pernyataan-pernyataan yang memuat ujaran kebencian.
Di Korea Selatan, hal ini sering terjadi juga pada artis mereka, termasuk salah satunya aktor yang dituduh memaksa mantan kekasihnya melakukan aborsi janin. Masih banyak kejadian lainnya di berbagai belahan dunia.
Apa itu cancel culture?
Cancel culture secara harafiah diartikan sebagai “budaya membatalkan” (Zaenuddin, 2023).
Merujuk pada perilaku membatalkan, memboikot, atau memberikan hukuman/menghukum seorang atau kelompok sebagai akibat dari perilaku dan perbuatan yang dianggap salah.
Dalam Merriam-Webster dijelaskan cancel culture mengacu pada penarikan dukungan secara massal terhadap tokoh masyarakat atau selebritas yang telah melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima secara sosial.
Cancel culture tidak hanya ditujukan untuk tokoh publik, tetapi bisa juga pada merek tertentu. Cancel culture pada brand terjadi ketika melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau problematik.
Cancel culture ini sering terjadi di media sosial. Cancel culture juga merupakan salah satu bentuk upaya mempermalukan publik di media sosial.
Purnamasari (2022) menjelaskan, bentuk cancel yang dilakukan ada beberapa jenis mulai dari penghentian dukungan dengan unfollow akun media sosial yang bersangkutan, menyebarkan kasus dan pemberitaan public figure melalui unggahan media sosial agar informasi dapat tersebar luas, dan memberikan komentar negatif di kolom komentar media sosial public figure tersebut.
Cancel culture ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi tajam (berdampak positif) di satu sisi tumpul (berdampak negatif).
Bermata tumpul, membawa sejumlah konsekuensi negatif berkaitan dengan kesehatan mental dan juga ekonomi.
Dampak kesehatan mental yang terjadi pada korban cancel culture adalah merasa dikucilkan, terisolasi sosial, dan kesepian.
Hal ini juga berkaitan dengan tingkat kecemasan, depresi, dan bahkan bunuh diri yang tinggi karena bukan menciptakan dialog untuk dapat saling memahami, tapi cenderung menutup semua komunikasi serta merampas kesempatan yang bersangkutan untuk belajar dan tumbuh dari kesalahannya.