KOMPAS.com - Sejumlah pengamat ekonomi menilai, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tanda bahwa sektor manufaktur dan pertumbuhan ekonomi sedang tidak stabil.
Diberitakan sebelumnya dari Kompas.com, Senin (30/9/2024), data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, sebanyak 52.933 pekerja menjadi korban PHK sepanjang Januari hingga 26 September 2024.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Indah Anggoro Putri menyebut, angka itu meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
PHK terbanyak berasal dari sektor pengolahan mencapai 24.013 kasus, disusul sektor jasa 12.853 kasus, dan sektor pertanian, kehutanan, serta perikanan 3.997 kasus.
Provinsi Jawa Tengah menduduki posisi teratas yang mengalami kasus PHK terbanyak dengan total 14.767 kasus, disusul Banten 9.114 kasus, dan DKI Jakarta 7.469 kasus.
Baca juga: Kena PHK, Ini Syarat, Cara, dan Lama Pencairan Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, meningkatnya PHK merupakan sinyal deindustrialisasi atau turunnya peran industri dalam perekonomian Indonesia masih terus berlanjut.
Industri manufaktur mendapatkan tekanan dari produk impor yang kini harganya lebih kompetitif, tetapi secara bersamaan permintaan dalam negeri menurun.
Hal itu dapat dilihat dari penurunan harga barang dan jasa yang terjadi empat bulan berturut-turut dan menurunnya jumlah rata-rata tabungan masyarakat Indonesia.
Melihat kondisi itu, ditambah para pengusaha yang saat ini menjadi putus asa, Wijayanto menyebut industri manufaktur Indonesia sedang memasuki masa genting.
"Saya dengar langsung dari banyak pengusaha, mereka mulai putus asa, membiarkan bisnisnya berakhir dan bersiap jadi trader produk asing, khususnya barang-barang China, karena pasti untung dan minim risiko. Kita memasuki era lampu kuning industri manufaktur Indonesia," jelasnya, kepada Kompas.com. Senin (30/9/2024).
Terpisah, Direktur Digital Celios, Nailul Huda membenarkan bahwa kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal. Sebab, proporsinya terhadap PDB kian menurun sejak 10 tahun lalu.
"Proporsi pernah mencapai 20 persen lebih 10 tahun yang lalu. PMI juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir yang terus menekan industri manufaktur. Belum ditambah sebuan produk impor," kata Huda, saat dihubungi oleh Kompas.com, Senin.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan, PHK massal juga akan menekan konsumsi rumah tangga kelas menengah.
Hal tersebut kemudian akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit untuk mencapai target 5,2 persen.
"Padahal kelas menengah menyumbang 30 persen dari total konsumsi nasional dan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi, target di atas 5,2 persen sulit tercapai, itu jadi indikator kalau ekonomi tidak baik-baik saja dan lampu kuning," paparnya, saat dihubungi Kompas.com, Senin (30/9/2024).
Baca juga: 52.993 Orang Jadi Korban, Ini 3 Hak Karyawan yang Terkena PHK