DI KOTA yang tak pernah benar-benar tidur karena notifikasi, seorang pemuda bernama Kalos hidup di antara layar-layar yang lebih sering menyentuh jiwanya daripada kulit manusia lain.
Ia bangun bukan untuk melihat matahari, tetapi cahaya biru dari ponsel. Setiap pagi, sebelum sarapan dan bahkan sebelum mencuci muka, ia sudah menelan ratusan kata, gambar, dan opini dari dunia yang tak bisa disentuh.
Sementara itu, di dalam ruang batinnya yang berdebu, Plato duduk bersila. Ia bukan tokoh imajiner, melainkan kesadaran purba yang mengendap di pojok pikiran manusia.
Ia hadir saat manusia merenung, meski hanya sebentar, tentang “Apa arti bahagia itu sebenarnya?”
Plato pernah berkata bahwa hidup yang baik adalah hidup yang dijalani dengan aretê, keunggulan dalam menjalani kodrat kemanusiaan.
Namun di dunia Kalos, aretê telah digantikan oleh engagement, metrik-metrik algoritmik yang tak peduli pada kebajikan. Anak-anak berkompetisi bukan dalam kebaikan, tapi dalam banyaknya likes, followers, dan bentuk-bentuk pengakuan digital lain yang fana.
Kalos mengalami long life scrolling, seperti orang yang berjalan di padang tanpa ujung, tak pernah puas, tak pernah selesai menggulir.
Baca juga: Seperti Apakah Netizen Hari Ini dengan Pendekatan Plato?
Ia terus menelan video lucu, status sarkastik, atau potongan podcast tentang cinta yang tak utuh.
Di malam hari, ia merasa lelah tanpa tahu kenapa. Mungkin ia tak menyadari, bahwa ia telah kehilangan makna. Ia telah kehilangan dirinya.
Sebagaimana metafora filsuf Korea, Byung Chul Han, gelombang lautan data telah mengikis batu karang kediriannya. Hingga ia sedikit demi sedikit kehilangan dirinya sendiri. Lost in Data.
Plato berbisik, antara lain, lewat tulisan filsuf Indonesia, Fakhruddin Faiz dalam bukunya, Filsafat Kebahagiaan (Mizan, 2023) yang termaktub indah, menanti untuk dihayati.
“Bahagia bukanlah soal rasa, tapi kondisi jiwa yang selaras,” kata Plato, eudaimonia. Sebuah kebahagiaan yang lahir dari harmoni antara nalar, semangat, dan hasrat.
Sophia dan Phronesis: Menimbang sebelum menyentuh
Dalam dunia yang instan, anak-anak layar sentuh kehilangan dua hal utama: sophia (kebijaksanaan teoretik) dan phronesis (kebijaksanaan praktis).
Generasi kita pandai, tapi tidak bijaksana. Tahu banyak, tapi tidak paham. Kimberly Young menyebut ini sebagai “addicted”. Adiksi biasanya berujung kehampaan. Addicted is empty.