KOMPAS.com - Belakangan ini ramai diberitakan sejumlah guru perempuan menggugat cerai suaminya usai menerima Surat Keputusan (SK) Pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Fenomena ini tidak satu kali terjadi, tetapi seperti merembet ke berbagai daerah, mulai dari Kabupaten Cianjur, Blitar, Pandeglang, hingga Wonogiri.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur, Ruhli mengatakan, faktor ekonomi menjadi penyebab utama maraknya perceraian PPPK di daerahnya.
“Pemicunya ekonomi. Salah satunya karena sekarang perempuannya sudah punya kemandirian ekonomi sebagai PPPK, sehingga menggugat cerai suaminya,” ujar Ruhli, dikutip dari Kompas.com, Jumat (8/7/2025).
Lantas, bagaimana tanggapan psikolog mengenai fenomena ini?
Baca juga: Terakhir Besok, Apa Saja Dokumen yang Diunggah Saat Pemberkasan PPPK Kemenag?
Psikolog Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal, menanggapi bahwa peningkatan kasus perceraian di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat ditinjau dari berbagai aspek psikologis, di samping faktor ekonomi.
Hal ini meliputi stres kerja, ketidakpuasan dalam pernikahan, hingga kurangnya keterampilan komunikasi.
Danti mengungkapkan, berbagai dinamika dalam pekerjaan bisa menimbulkan kecemasan dan ketidakstabilan emosi yang memengaruhi keputusan seseorang.
"Ketidakpastian dalam promosi jabatan dan perubahan kebijakan bisa memicu emosi-emosi negatif yang berdampak pada pernikahan," terang Danti saat dihubungi Kompas.com, Jumat (1/8/2025).
Tidak hanya itu, kenaikan jabatan juga bisa menimbulkan kecemasan yang berdampak pada pengambilan keputusan orang tersebut.
Menurut dia, peran ganda yang dialami ASN PPPK perempuan, yaitu sebagai pegawai dan ibu rumah tangga, kerap menimbulkan konflik dan kelelahan emosional.
Hal itu, menurut Danti, bisa memicu ketidakpuasan dalam pernikahan dan meningkatkan risiko perceraian
Selanjutnya, selain faktor tekanan kerja dan peran ganda yang bersinggungan dengan aspek ekonomi, Danti juga menyoroti beberapa hal yang mendasari kerapuhan pernikahan.
"Terjadinya percekcokan dan perdebatan bisa menyebabkan salah satu pihak tidak kuat dan mempunyai harapan tidak akan rukun kembali jika diteruskan rumah tangganya," tutur dia.
Kemudian, Danti menyatakan bahwa perbedaan nilai bisa memunculkan perbedaan tujuan hidup dan ekspektasi pernikahan. Hal ini menjadi sumber konflik yang berkelanjutan.
"Jika pasangan tidak dapat menemukan titik temu atau kompromi, perceraian mungkin menjadi pilihan," kata dia.
Terakhir, Danti menilai bahwa kemampuan menyelesaikan konflik secara konstruktif sangat penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
"Kurangnya keterampilan dalam mengelola konflik dapat menyebabkan konflik yang berlarut-larut dan memicu perceraian," imbuh dia.
Dengan begitu, ia berpesan bahwa memahami akar masalah dan memberikan dukungan yang diperlukan, diharapkan bisa mengurangi angka perceraian di kalangan ASN PPPK.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini