KOMPAS.com - Setiap bulan Agustus, masyarakat Indonesia menyemarakkan suasana kemerdekaan dengan mengibarkan bendera Merah Putih.
Baik di depan rumah, sekolah, kantor, maupun di sudut-sudut jalanan, warga beramai-ramai memasang bendera dan ornamen bernuansa kemerdekaan.
Tradisi ini menjadi simbol penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan, serta pengingat akan pentingnya kemerdekaan yang telah diraih pada 17 Agustus 1945.
Namun, di balik bendera Merah Putih, tersimpan sejarah panjang hingga menjadi lambang negara Indonesia.
Baca juga: Aturan dan Larangan Pemasangan Bendera Merah Putih Jelang HUT Ke-80 RI
Dikutip dari Kompas.com (17/8/2022), sejarah bendera Merah putih diawali saat Dai Nippon menyiarkan kabar pada 7 September 1944 bahwa Indonesia diperkenankan untuk merdeka.
Maka, Chuuoo Sangi In atau badan yang membantu pemerintah pendudukan Jepang, menyelenggarakan sidang tidak resmi pada 12 September 1944 dan dipimpin oleh Ir Soekarno.
Hal yang dibahas pada sidang tersebut adalah bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia.
Hasilnya, mereka menetapkan bendera kebangsaan berwarna merah dan putih dengan ukuran sama seperti bendera Jepang, yakni perbandingan antara panjang dan lebar sebesar tiga banding dua.
Bendera itu terbuat dari bahan katun halus atau setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus.
Namun, kala itu, pengadaan kain jenis ini cukup susah.
Dilansir dari situs Kementerian Sekretariat Negara (Setneg), istri Soekarno, Fatmawati mengatakan, pengadaan kain untuk bendera Merah Putih dibantu oleh pimpinan barisan propaganda Jepang, Hitoshi Shimizu melalui pemuda bernama Chairul Basri.
Chairul Basri memberikan dua blok kain merah dan putih berbahan katun asal Jepang yang diberikan pada Oktober 1944.
Baca juga: Ini Aturan, Tata Cara, dan Larangan Pemasangan Bendera Merah Putih untuk HUT ke-80 RI
Fatimah menceritakan, bendera tersebut dijahit ketika dirinya berumur 21 tahun dan menjelang kelahiran putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.
Selama proses menjahit, Fatmawati mengaku terharu lantaran momen kemerdekaan ini telah ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu," ujar Fatmawati dalam buku Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka (2003) oleh Bondan Winarno.