BEBERAPA hari terakhir, jagat hukum Indonesia diramaikan perseteruan sengit antaradvokat di media sosial, yang dipicu kasus hukum artis ternama: Nikita Mirzani.
Alih-alih memperdebatkan substansi hukum di ruang sidang, advokat terjebak dalam serangan personal yang meriuhkan gelanggang publik.
Publik pun terpecah: sebagian mendukung, sebagian lagi mencibir, sementara inti perkara hukum tenggelam dalam sorotan kontroversi.
Di ruang sidang, benturan argumen adalah bagian dari sistem adversarial yang wajar. Namun, ketika perseteruan ini menyebar ke arena publik seperti media sosial, dampaknya tidak hanya merusak reputasi pribadi, tapi juga citra profesi advokat secara keseluruhan.
Advokat yang berada di dalam episentrum kasus seharusnya fokus pada pembuktian hukum, alih-alih penggiringan opini untuk menjatuhkan lawan.
Ketika serangan lebih menyasar karakter daripada argumen hukum, proses peradilan berpotensi kehilangan esensinya, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum berpotensi menurun.
Baca juga: Dunia Influencer Indonesia: Citra Ditebus dengan Uang
Advokat di Indonesia diikat oleh sumpah jabatan yang ketat. Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan kewajiban untuk berperilaku jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum serta keadilan.
Pasal 6 undang-undang yang sama melarang advokat menunjukkan sikap tidak patut terhadap rekan seprofesi atau tidak hormat terhadap hukum dan pengadilan.
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) pun memperkuat hal ini dengan mewajibkan hubungan saling menghormati antaradvokat dan melarang pernyataan yang merendahkan martabat profesi.
Prinsip serupa diakui secara internasional. “UN Basic Principles on the Role of Lawyers (1990)” menekankan bahwa advokat harus menjaga integritas, kehormatan, dan saling menghormati untuk mempertahankan kepercayaan publik pada sistem peradilan.
Sebab itu, banyak asosiasi advokat global memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terlibat dalam perseteruan publik yang tidak relevan dengan perkara.
Di Indonesia, advokat memang dilindungi secara hukum. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana saat menjalankan tugas dengan itikad baik untuk pembelaan klien, baik di dalam maupun luar pengadilan.
Imunitas ini penting agar advokat dapat berargumen bebas tanpa ancaman kriminalisasi.
Namun, perlindungan ini bukanlah kekebalan mutlak. Imunitas hanya berlaku selama advokat tetap dalam koridor pembelaan hukum dan itikad baik.
Jika perseteruan melibatkan fitnah, serangan pribadi, atau penggunaan media untuk kepentingan ego, maka konsekuensi etik dan hukum tetap bisa diterapkan.