KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menilai anak-anak saat ini menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap banjir informasi, khususnya isu-isu politik yang berulang dan viral di media sosial.
Menurut dia, media sosial sering kali menjadi sarana ajakan langsung kepada anak untuk ikut dalam aksi demonstrasi. Fenomena ini terlihat meningkat pada 2014, 2019, hingga 2025.
“Anak-anak juga merupakan pengguna terbesar informasi digital, sehingga mereka mudah terpapar konten yang memengaruhi emosi, pemahaman, dan perilaku mereka,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Ia menambahkan, paparan berulang terhadap kekerasan dan kemarahan di tengah massa dapat berdampak negatif bagi perkembangan psikologis maupun emosional anak.
Lebih dari itu, menurut Jasra, konsumsi isu politik oleh anak kerap dibarengi dengan manipulasi informasi yang beredar luas di berbagai platform digital.
Sehingga, peran regulasi seperti UU Perlindungan Anak, UU ITE, dan pembatasan penggunaan media sosial bagi anak menjadi sangat penting.
Baca juga: Polisi Amankan Ribuan Anak Saat Demo, KPAI Ingatkan Bahaya Medsos
Mantan Jurnalis RCTI, Jamalul Insan mengatakan, saat ini media sosial bahkan telah menggeser peran televisi.
Menurut dia, kini setiap orang merasa bisa menjadi reporter sekaligus produsen konten.
Akibatnya, apa pun yang dilihat dapat langsung dilaporkan melalui media online maupun media sosial, tanpa melakukan validasi dan konfirmasi terkait kebenaran informasinya.
Kondisi ini membuat foto, gambar, maupun video mudah viral, terutama karena kerap tidak melalui proses penyensoran.
Meski demikian, Jamalul menegaskan agar jurnalis tetap harus berpegang pada kode etik.
Ia juga mengatakan, kewajiban etik tidak hilang meskipun informasi atau visual yang dianggap tidak layak sudah beredar luas di media sosial.
“Kewajiban etik itu tidak gugur oleh karena informasi itu sudah nyebar. Meskipun visualnya orang-orang sudah pada tahu, maka tidak gugur kewajiban etik kita. Artinya kita tetap harus menjaga itu,” ujarnya saat menjadi mentor dalam salah satu sesi Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2, Kamis (4/9/2025).
Lebih lanjut, Jamalul menyoroti keluhan publik yang menilai televisi tidak lagi memberikan kontribusi cukup terhadap informasi.
Situasi inilah yang mendorong masyarakat beralih ke media sosial, sekaligus menuntut jurnalis untuk memproduksi konten audiovisual.
“Keluhan yang terjadi sekarang ini netizen atau publik kita anggap bahwa TV tidak memberikan kontribusi yang cukup terhadap informasi yang ada," kata Jamalul.
"Situasi ini yang memaksa kita jika memang tetap menjadi jurnalis yang nanti memproduksi konten-konten audio visual, tetap harus berpegangan pada kode etik,” tambahnya.
Lantas, apa dampak tayangan kekerasan pada anak?
Baca juga: Pemberitaan Ramah Anak, Apa Saja Batasan yang Harus Dijaga?
“Paparan terhadap konten-konten negatif jika tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut dari orang tua, memang bisa membuat anak itu mengalami rasa cemas, rasa tidak aman,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis.
Shierlen menambahkan, kondisi tersebut juga bisa memicu rasa takut anak terhadap aparat maupun lingkungan sekitar. Misalnya memiliki pemikiran, "apa aku juga bisa menjadi orang yang ditangkap".
Selain itu, karena anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir kritis, hal ini berisiko membuat mereka menafsirkan adegan kekerasan dalam kerusuhan atau penangkapan sebagai sesuatu yang wajar.
“Nah, ini yang sebenarnya berbahaya, karena di masa depan ini bisa membuat anak-anak itu lebih mudah untuk menimbulkan atau melakukan perilaku yang serupa nih dengan yang mereka lihat, seperti itu,” terangnya.
Kemudian, kata Shierlen, anak juga bisa terdorong untuk ikut-ikutan ketika melihat teman sebaya atau remaja lain berani terlibat. Hal ini berisiko memengaruhi pembentukan identitas serta menimbulkan sikap sosial yang menyimpang.
Lebih jauh, Shierlen mengingatkan bahwa paparan konten semacam itu dapat menimbulkan kebingungan moral pada anak.
Mereka bisa mempertanyakan, “Siapa sebenarnya yang benar? Apakah tindakan polisi itu tepat? Apakah tindakan pemerintah atau anak-anak yang ikut demo itu benar atau salah?”
Hal serupa disampaikan oleh psikolog sekaligus dosen Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo.
“Pemberitaan tentang demo, kerusuhan, dan penangkapan anak di bawah umur yang ikut unjuk rasa dapat berdampak signifikan pada anak-anak, baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujarnya, terpisah.
Ia pun menyampaikan, paparan berita semacam itu dapat menimbulkan sejumlah dampak psikologis dan sosial, di antaranya:
Pemberitaan yang tidak seimbang atau sensasional bisa membuat anak memiliki gambaran keliru tentang realitas kehidupan.
Dampak kedua, anak yang terbiasa melihat kekerasan atau kerusuhan berpotensi menunjukkan perilaku agresif.
Menurut Ratna, paparan media berlebihan dapat menghambat kemampuan anak untuk berinteraksi secara sehat dengan orang lain.
Dampak lainnya, anak bisa merasa terpaksa mengikuti tren atau perilaku tertentu yang mereka lihat di media sosial.
Baca juga: Cerita Petugas Damkar Kota Yogyakarta, Jadi Teknisi Dadakan Usai Bantu Rakit Kipas Angin Anak Kosan
Ratna menyampaikan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk melindungi anak dari dampak negatif paparan media. Berikut di antaranya:
"Dengan memahami dampak potensial serta mengambil langkah pencegahan, orang tua dapat membantu anak-anak menghadapi tantangan yang muncul akibat paparan pemberitaan tentang demo maupun kerusuhan," jelasnya.
Selain itu, Jasra juga menyoroti perlunya mitigasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memastikan anak-anak tidak ikut aksi demonstrasi secara langsung.
Jasra menyarankan adanya pembentukan tim lintas kementerian, lembaga, dan masyarakat yang dapat merespons cepat ketika anak-anak ditemukan terlibat dalam demonstrasi.
“Ruang dialog yang aman harus dibuka, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak perlu didengar dan mendapatkan wadah untuk menyalurkan kecemasan, keresahan, dan daya kritiknya dengan aman,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya literasi politik bagi anak agar mereka tidak mudah terprovokasi atau dimanfaatkan dalam ruang politik yang salah.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini