KOMPAS.com - Nyamuk kecil pembawa penyakit sering menjadi musuh besar kesehatan masyarakat Indonesia, terutama melalui dua penyakit utama: malaria dan demam berdarah dengue (DBD).
Kedua penyakit ini ditularkan oleh nyamuk berbeda dan memiliki cara penanganan yang jauh berbeda, meski sama-sama dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan tepat.
Dr. Rizka Zainudin, Sp.PD, spesialis penyakit dalam dari RSPI Sulianti Saroso, menjelaskan perbedaan mendasar antara kedua penyakit yang kerap menjadi momok kesehatan ini.
Baca juga: Bill Gates Yakin Polio dan Malaria Bisa Diberantas Lewat Peran AI
"Dari segi penularan itu dua nyamuknya berbeda. Untuk DBD, penyebabnya adalah Aedes aegypti. Sedangkan untuk malaria ini, nyamuknya adalah Anopheles betina. Tidak bisa Anopheles jantan," jelas Rizka.
Perbedaan nyamuk penular ini berimplikasi pada lokasi persebaran penyakit. Nyamuk Anopheles betina hidup di daerah tertentu saja, terutama di wilayah Indonesia timur seperti Papua, sementara Aedes aegypti memiliki habitat yang lebih luas di seluruh Indonesia.
"Kalau misalnya di Pulau Jawa, itu banyak penularan DBD karena tempat nyamuknya di situ. Sedangkan untuk yang Anopheles betina, ini jarang dia hidup di Pulau Jawa. Sehingga penularan malaria di Pulau Jawa itu rendah," tambahnya.
Baca juga: DBD Ada di Indonesia Sepanjang Tahun, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai
Gejala malaria dan DBD juga memiliki perbedaan signifikan, meski keduanya diawali dengan demam.
"Untuk malaria, gejala utamanya adalah demam. Dan untuk demam malaria ini berbeda dengan demam tifoid," terang Rizka.
Pola demam malaria sangat khas: dimulai dengan menggigil hebat, kemudian demam tinggi hingga 40 derajat Celcius, lalu diikuti dengan berkeringat banyak saat demam turun.
Sementara pada DBD, pola demam biasanya tinggi terus-menerus selama beberapa hari pertama, kemudian turun mendadak dan diikuti dengan fase kritis berupa kebocoran plasma yang ditandai dengan penurunan trombosit.
Baca juga: DBD Belum Ada Obatnya, Utamakan Pencegahan
"Kalau malaria itu nyamuknya satu, tapi parasitnya ada lima macam kalau di Indonesia," jelas Rizka.
Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Di Indonesia, terdapat lima jenis plasmodium: vivax, ovale, malariae, falciparum, dan knowlesi.
Sebaliknya, DBD disebabkan oleh virus dengue yang memiliki empat serotipe berbeda, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi.
Baca juga: Malaria Tercatat 418.546 Kasus, Kemenkes Luncurkan Tempo Kas Tuntas
Perbedaan paling signifikan terletak pada pendekatan pengobatan kedua penyakit ini.
"Untuk malaria, pengobatannya tergantung dengan jenis plasmodium yang ditularkan. Pengobatannya berbeda-beda antara plasmodium tipe vivax, tipe ovale, tipe malariae," terang Rizka.
Malaria memerlukan obat anti-parasit spesifik seperti kombinasi DHP (Dihydroartemisinin-Piperaquine) dan primaquine untuk kasus tanpa komplikasi, atau artemisinin IV untuk kasus berat.
"Untuk dengue, pengobatan utamanya adalah hidrasi. Tidak ada indikasi penggunaan antivirus maupun antibiotik untuk dengue," kata Rizka.
Penanganan DBD lebih berfokus pada terapi suportif, memastikan pasien tidak mengalami dehidrasi, menurunkan demam, dan mencegah kondisi syok.
Baca juga: Cara Mencegah DBD di Musim Hujan, Perhatikan 5 Langkah Ini
Diagnosis kedua penyakit ini juga menggunakan pendekatan berbeda. Malaria didiagnosis melalui pemeriksaan darah untuk mendeteksi keberadaan parasit plasmodium, baik dengan mikroskop (darah samar tebal dan tipis) maupun rapid diagnostic test.
"Pengambilan darah pasien malaria paling ideal adalah ketika pasien demam tinggi. Karena ketika sedang demam tinggi, itu terjadi lisis dari eritrosit atau sel darah merahnya," jelas Rizka.
Sementara untuk DBD, diagnosis melibatkan pemeriksaan darah lengkap dengan fokus pada penurunan trombosit dan peningkatan hematokrit, serta tes serologi untuk mendeteksi virus dengue atau antibodi terhadapnya.
Baca juga: 4 Cara Mengobati Malaria dan Pencegahannya
Meski keduanya ditularkan oleh nyamuk, pendekatan pencegahan malaria dan DBD memiliki beberapa perbedaan. Untuk DBD, program pencegahan berfokus pada pembasmian jentik nyamuk Aedes aegypti melalui program 3M+ dan fogging di daerah padat penduduk.
Untuk malaria, Rizka menekankan pendekatan ABCD:
"Jadi memang untuk malaria ini karena sifatnya endemis, pencegahannya tergantung dari daerah masing-masing. Mungkin Jakarta nggak seheboh itu untuk mencegah malaria, karena memang bukan daerah endemisnya," tambahnya.
Rizka mengingatkan bahwa meski keduanya disebabkan oleh nyamuk, penanganan yang tepat dan cepat sangat berbeda antara malaria dan DBD, sehingga diagnosis yang akurat menjadi sangat penting.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini