BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com mengenai upaya Indonesia menanggulangi DBD

Anak Terkena DBD, Sahil Mulachela Tak Lagi Anggap Remeh Pencegahan

Kompas.com - 04/09/2025, 12:40 WIB
ADW,
Aditya Mulyawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Beberapa bulan lalu, tepat satu minggu setelah Idul Fitri yang penuh kebahagiaan, suasana di rumah influencer Sahil Mulachela berubah drastis. 

Putri kecilnya yang ceria mendadak terkulai lemah. Demam tinggi datang tiba-tiba, disusul tubuh yang terasa pegal-pegal dan wajah yang tampak letih.

Sebagai seorang ayah, Sahil merasakan kekhawatiran yang mendalam. Ia dan istrinya segera membawa sang anak ke dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sang buah hati positif terinfeksi demam berdarah dengue (DBD).

“Awalnya, saya kira demam biasa. Enggak tahunya anak terkena DBD. (Setiap hari) trombositnya makin turun dan harus dirawat lima hari,” ujar Sahil mengenang masa-masa penuh kecemasan itu.

Sebetulnya, momen tersebut bukan pengalaman pertama Sahil dan istri berhadapan dengan DBD. Keduanya juga pernah mengalami infeksi dengue beberapa tahun silam, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda. 

Baca juga: 79 Ribu Lebih Kasus DBD, Indonesia Tertinggi di ASEAN: Ahli Ingatkan Pencegahan Dini

Namun tetap saja, ketika penyakit itu menimpa anak sendiri, Sahil merasakan ketakutan yang muncul terasa berkali lipat.

“Rasanya beda banget ketika yang sakit anak sendiri. Dulu waktu kami sakit, memang lemas dan sakit, tetapi tidak setegang ini. Waktu anak kami dirawat, rasanya pekerjaan pun tidak lagi penting. Fokus kami hanya satu, ia harus sembuh,” cerita Sahil.

Selama beberapa hari, sang anak harus dirawat inap di rumah sakit. Setiap pagi dan malam, Sahil dan istrinya memantau perkembangan trombosit anak mereka yang sempat anjlok drastis. 

Mereka juga mencari segala upaya untuk mendukung pemulihan, mulai dari memberikan jus jambu biji, madu, hingga madu angkak yang dipercaya bisa membantu menaikkan jumlah trombosit.

DBD bukan penyakit musiman

Pengalaman Sahil bukanlah hal yang langka. Kisah serupa terjadi di berbagai daerah di Indonesia, menjadikan dengue sebagai ancaman yang terus membayangi banyak keluarga.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 2024, jumlah kasus DBD mencapai 257.455 dengan 1.461 kematian yang terjadi di 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia.

Bahkan, hingga Juni 2025, data Kemenkes menunjukkan jumlah kasus DBD telah menembus 79.843 kasus dengan 359 kematian.

Baca juga: Jabar Tertinggi Kasus DBD di Indonesia, Dedi Mulyadi Naikkan Anggaran Fogging

Hal yang mengkhawatirkan adalah masih banyak masyarakat yang menganggap DBD sebagai “penyakit musim hujan”. Nyatanya, tren infeksi dengue bisa terjadi sepanjang tahun, dengan peningkatan kasus secara signifikan pada saat musim hujan. 

Diberitakan Kompas.com Senin (24/6/2024), sejak 2007, siklus peningkatan kasus DBD di Indonesia terpantau meningkat signifikan setiap tiga tahun. Salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim yang kian ekstrem.

Nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD, ternyata mampu beradaptasi dan berkembang biak di berbagai kondisi lingkungan. Freepik/jcomp Nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD, ternyata mampu beradaptasi dan berkembang biak di berbagai kondisi lingkungan.

Suhu bumi yang semakin panas membuat nyamuk lebih sering menggigit manusia. Kondisi ini juga diperparah dengan musim kemarau yang diselingi dengan hujan sehingga nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD semakin mudah berkembang biak.

Tidak ada obat spesifik dan potensi keparahan pascainfeksi berulang

Hingga saat ini, belum ditemukan obat khusus yang dapat menyembuhkan DBD secara langsung. 

Diberitakan Kompas.com, Kamis (24/4/2025), dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe menjelaskan, perawatan DBD di rumah sakit hanya memberikan terapi suportif, seperti pemberian cairan, antimual, dan penurun demam.

Hal itu dilakukan agar tidak terjadi perburukan kondisi pada pasien. Sebab, perburukan DBD bisa menyebabkan dengue shock syndrome dan penurunan drastis jumlah trombosit yang berisiko memicu perdarahan otak.

“Naik turunnya trombosit tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, lebih baik melakukan pencegahan," tutur dr Dirga. 

Hal lain yang perlu dipahami masyarakat adalah infeksi DBD bisa terjadi lebih dari satu kali. Penyebabnya adalah virus dengue memiliki empat serotipe, yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4.

Baca juga: Ibu Hamil dan Lansia, Ini Kelompok yang Rentan Alami Komplikasi akibat DBD

Maka dari itu, seseorang yang sudah pernah terinfeksi salah satu jenis serotipe masih berisiko terinfeksi tiga serotipe lain di kemudian hari.

Bahkan, artikel Kompas.com lain, Kamis (1/6/2023), menyebut bahwa pada infeksi kedua, reaksi tubuh bisa lebih parah karena kekebalan dari virus sebelumnya belum menciptakan antibodi secara utuh.

Lengkapi 3M dengan perlindungan tambahan

Kenyataan bahwa DBD bisa menyerang lebih dari satu kali, bahkan dengan gejala yang lebih parah, membuat pencegahan menjadi satu-satunya langkah yang masuk akal. 

Terlebih, tanpa adanya obat khusus, setiap keluarga perlu mengambil peran aktif untuk melindungi orang-orang terdekat dari risiko yang sama. Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh Sahil dan keluarganya setelah pengalaman pahit yang mereka alami.

Pascainsiden tersebut, keluarga Sahil semakin serius dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah. Mereka rutin melakukan 3M Plus, yaitu menguras penampungan air, menutup rapat wadah air, mendaur ulang barang bekas, dan menaburkan larvasida jika perlu.

Baca juga: Anak Lebih Rentan Terkena DBD, Pahami Cara Cegah Penularannya

Tidak berhenti di situ, Sahil juga mulai mencari informasi tentang pencegahan dengue yang lebih menyeluruh. Salah satu upaya yang perlindungan tambahan yang bisa dilakukan adalah melalui pencegahan yang inovatif.

“Dokter bilang DBD itu belum ada obatnya. Jadi, pencegahannya 3M Plus dan bisa dilengkapi vaksinasi,” katanya.

Vaksinasi DBD dapat menjadi upaya pencegahan komprehensif dan inovatif agar terhindari dari risiko DBD. Freepik/jcomp Vaksinasi DBD dapat menjadi upaya pencegahan komprehensif dan inovatif agar terhindari dari risiko DBD.

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan izin edar resmi untuk dua jenis vaksin dengue. Kedua vaksin ini memiliki peruntukan dan kelompok usia yang berbeda sehingga penggunaannya disesuaikan dengan riwayat infeksi dan kondisi kesehatan masing-masing penerima.

Pemberian vaksin dengue sebaiknya tetap dikonsultasikan terlebih dahulu dengan tenaga kesehatan, terutama untuk menentukan kecocokan jenis vaksin berdasarkan riwayat kesehatan dan usia penerima. 

Baca juga: Vaksin DBD Tersedia di Indonesia, Begini Syarat untuk Mendapatkannya

Namun, perlu diingat bahwa vaksinasi bukanlah pengganti 3M Plus, melainkan pelengkap perlindungan agar lebih menyeluruh, terutama di daerah endemik, seperti Indonesia.

Sahil mengatakan, ia, istri, dan anak laki-lakinya kini sudah menerima vaksin DBD. 

“Jadi, sekarang saya lebih tenang kalau keluarga mau ke mana-mana. Apalagi, anak-anak sering main di taman,” ungkapnya. 

C-ANPROM/ID/QDE/0970 | September 2025


Terkini Lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau