KORAN Kompas menulis berita mencemaskan tentang rasio utang pemerintah terhadap PDB yang menanjak di atas 40 persen terhadap PDB. Artikel Kompas tersebut berjudul “Risiko Gali Lubang Tutup Lobang pada Kas Negara Meningkat".
Soal rasio utang terhadap PDB masih debatable. Apakah seharusnya rasio utang terhadap PDB atau penerimaan negara?
PDB hanyalah modeling untuk menghitung total output ekonomi suatu negara. Sementara utang adalah kewajiban yang harus ditunaikan dengan uang (baik cash maupun non-cash).
Oleh sebab itu, rasio utang terhadap penerimaan negara lebih tepat digunakan untuk melihat kemampuan negara dalam membayar utangnya.
Dengan kata lain, pendapatan negara mencerminkan arus kas fiskal yang ada untuk membayar utang. Oleh karena itu, rasio ini memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai kemampuan negara dalam memenuhi kewajiban utangnya tanpa tergantung pada fluktuasi ekonomi yang lebih besar seperti PDB.
Perdebatan lainnya adalah, apakah emerging countries seperti Indonesia, sudah tepat melihat amannya beban utang bila rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen?
Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite
Sementara pendapat lain mengatakan, untuk negara emerging seperti Indonesia, ambang batas rasio utang terhadap PDB yang aman adalah 45 persen.
Dus, IMF dan Bank Dunia menggunakan Debt Sustainability Framework (DSF) untuk menilai risiko utang negara berkembang.
Dalam kerangka ini, rasio utang terhadap PDB sekitar 45 persen sering dijadikan acuan sebagai batas atas untuk menilai keberlanjutan utang, terutama untuk negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seperti Indonesia.
Dalam menilai keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) suatu negara, penting untuk memperhatikan indikator debt-to-revenue ratio, khususnya debt-to-tax revenue ratio.
Saya memilih menyoroti rasio utang terhadap penerimaan pajak (tax revenue) karena pajak merupakan sumber utama dalam struktur penerimaan negara.
Dengan kata lain, kapasitas fiskal pemerintah dalam memenuhi kewajiban utangnya sangat bergantung pada efektivitas sistem perpajakan dan kemampuan negara dalam mengumpulkan pajak.
Dibandingkan dengan komponen penerimaan negara lainnya, seperti penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau hibah, penerimaan pajak cenderung bersifat lebih stabil dan mencerminkan kekuatan ekonomi domestik.
Oleh karena itu, debt-to-tax revenue ratio memberikan gambaran yang lebih representatif terhadap beban fiskal yang ditanggung negara dan risiko terhadap solvabilitas fiskal jangka menengah hingga panjang.
Dalam konteks ini, peningkatan rasio utang terhadap pajak dapat menjadi sinyal awal dari meningkatnya tekanan fiskal dan potensi kerentanan terhadap dinamika pembiayaan utang.