KATA “reformasi” kini mengalami inflasi makna. Ia menjadi jargon normatif yang dipajang dalam presentasi, diselipkan dalam naskah pidato, dan didengungkan dalam dokumen perencanaan strategis.
Reformasi birokrasi yang sejatinya adalah upaya sistematis untuk membenahi tata kelola pemerintahan, kini terjebak dalam praktik seremonial dan simbolik, lebih terpaku dalam hal-hal yang sifatnya populis dan berkutat pada wacana.
Jargon "Reformasi Birokrasi Berdampak Kesejahteraan Masyarakat" seolah menjadi mantra sakti yang kerap terdengar di berbagai forum birokrasi, dari ruang-ruang rapat kementerian, rapat Pemda, hingga spanduk pelatihan ASN.
Namun, di balik retorika itu, publik patut bertanya: kesejahteraan masyarakat yang dimaksud mencakup siapa? Apakah seluruh rakyat atau segelintir kelompok elite birokrasi?
Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional sekaligus Sarasehan Perubahan Geopolitik Dunia - BPIP & MPR RI yang dilaksanakan di Gedung Nusantara IV DPR RI, 20 Mei 2025, saya sempat bertanya kepada beberapa kepala daerah bagaimana efektivitas daerah menghadapi efisiensi anggaran, serta kinerja ASN dalam menyelenggarakan layanan publik.
Baca juga: Korpri Usul Batas Usia Pensiun ASN Diperpanjang, Ada yang Sampai 70 Tahun
Beberapa di antaranya menjawab bahwa saat ini persoalan efisiensi anggaran masih menjadi masalah yang mengakibatkan “stagnasi dan leletnya” pelayanan publik. Salah satu kepala daerah melontarkan bahwa saat ini produktivitas ASN jauh menurun dari tahun sebelumnya.
Maka, opini saya di Kompas.com berjudul: “Paradoks Rangkap Jabatan Pejabat dan Kemiskinan Struktural,” semakin menunjukkan realita bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan dan sulitnya daerah beradaptasi akhirnya mengakibatkan terlambatnya belanja daerah yang berujung pada pelemahan daya beli masyarakat.
Wacana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) belakangan ini menjadi titik kritis dalam menilai arah reformasi birokrasi kita.
Alih-alih menjadi momentum untuk memperkuat meritokrasi, efisiensi, dan akuntabilitas publik, yang terjadi justru sebaliknya: ruang revisi disulap menjadi peluang untuk mengakomodasi kepentingan segmen tertentu dalam birokrasi.
Baru-baru ini, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto dalam hal penguatan ASN.
Singkatnya, surat tersebut berisi respons dan aspirasi dari ASN maupun Korpri provinsi/kabupaten/kota yang mengajukan usulan penguatan ASN sebagai mesin birokrasi untuk mewujudkan Asta Cita.
Adapun isinya yang menjadi pertanyaan adalah usulan soal perpanjangan masa jabatan, mulai dari jabatan manajerial, yaitu pejabat tinggi utama yang semula 6O tahun menjadi 65 tahun; pejabat pimpinan tinggi madya yang semula 6O tahun menjadi 63 tahun; pejabat pimpinan tinggi pratama yang semula 6O tahun jadi 62 tahun; pejabat administrator dan pejabat pengawas yang semula 58 tahun menjadi 60 tahun, hingga perpanjangan jabatan nonmanajerial.
Baca juga: Wacana Mengirim ASN Malas ke Barak Militer
Bayangkan, isinya diklaim sebagai penguatan ASN dan dijustifikasi demi “Asta Cita”, tapi semua yang dijabarkan soal perpanjangan masa jabatan.
Kini muncul pertanyaan, sebenarnya usulan ini mewakili seluruh ASN atau “terselubung” kepentingan dari Pimpinan Korpri?
Kalaupun ini kepentingan Korpri, kita perlu membaca kajian akademik dari surat yang diusulkan: apakah ada relevansi dari penambahan masa jabatan bakal berdampak tercapainya Asta Cita?