PADA April lalu, warga Jakarta beramai-ramai memburu emas fisik yang dijual di butik Antam. Di butik Antam Setiabudi One, misalnya, antrean panjang sudah terbentuk, bahkan sejak waktu subuh (Kompas.com, 13/4/2025).
Harga emas yang terus naik sepanjang awal tahun ini menimbulkan gelombang takut tertinggal momen (fear of missing out/FOMO) di masyarakat yang lazim menilai emas sebagai pilihan investasi terbaik.
Namun, fenomena tersebut kini tidak lagi terlihat seiring dengan berangsur turunnya harga emas. Setelah sempat menembus Rp 2 juta per gram, harga emas kini telah turun sekitar 10 persen dari level tertingginya.
Dalam jangka panjang, tren harga emas sebenarnya memang cenderung terus meningkat. Namun, koreksi harga kadang terjadi ketika sentimen ekonomi membaik dan modal mulai mengalir keluar dari emas menuju aset yang lebih berisiko, seperti saham dan aset kripto.
Oleh karena itu, memahami karakteristik emas sebagai instrumen investasi sebenarnya bisa menunjukkan bahwa penurunan harganya saat ini merupakan hal wajar dan tidak perlu dikhawatirkan.
Baca juga: Masih Perlukah Pemutihan Pajak?
Pada dasarnya, emas lebih tepat diklasifikasikan sebagai aset lindung nilai (safe-haven) dibanding instrumen investasi untuk menumbuhkan modal (growth investing).
Artinya, alih-alih untuk menciptakan kekayaan yang besar, emas sebaiknya dipilih untuk melindungi nilai uang dari inflasi seiring waktu dan risiko memburuknya situasi ekonomi. Alasan ini juga menjelaskan kapan dan mengapa harga emas mengalami kenaikan.
Pertama, harga emas terus naik dalam jangka panjang karena nilai rupiah juga melemah seiring waktu. Karena emas secara internasional diperdagangkan dalam dollar Amerika Serikat (AS), harga emas pun naik ketika rupiah melemah terhadap dollar AS.
Pada 2005 lalu, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.713 per dollar AS. Saat ini, nilainya telah terdepresiasi lebih dari 60 persen. Sementara itu, di periode yang sama, harga emas telah melambung hingga 12 kali lipat.
Ini yang kemudian membuat investor cenderung menyimpan nilai aset dalam emas dibanding tabungan atau uang tunai.
Nilai harta dalam emas terus tumbuh dan terjaga, sementara tabungan dan uang tunai justru tergerus inflasi dan juga bukan aset produktif yang menghasilkan apa pun.
Depresiasi rupiah bukan satu-satunya pendorong kenaikan harga emas.
Alasan keduanya, permintaan emas juga terus bertumbuh; bukan hanya dari masyarakat ritel, tapi juga dari institusi dan industri perbankan yang membutuhkan emas untuk diversifikasi risiko investasi.
Saat permintaannya terus tumbuh, ketersediaan emas sebaliknya justru terbatas. Sepanjang 2024, misalnya, persediaan emas global hanya meningkat 1 persen.
Padahal, permintaan emas tumbuh pesat seiring tren berbagai bank sentral mengalihkan cadangan devisa dari mata uang asing ke emas.
Keterbatasan jumlah emas tersebut menjadi dasar untuk dapat meyakini bahwa dalam jangka panjang, harga emas akan terus naik melampaui tingkat inflasi.
Oleh karena itu, menetapkan tujuan berinvestasi sangat penting sebelum memutuskan untuk membeli emas.
Kenaikan harga emas memang terlihat tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, emas lebih tepat dipilih untuk investasi konservatif dibanding investasi pertumbuhan dan spekulatif.
Berinvestasi emas terbilang tidak tepat jika untuk menciptakan kekayaan dengan cepat. Emas hendaknya dinilai sebagai tabungan untuk menjaga nilai uang melalui pertumbuhan harga yang stabil dengan risiko rendah.
Imbal hasil berinvestasi emas biasanya tidak sebesar investasi pada aset berisiko tinggi seperti saham dan aset kripto, meskipun kemungkinannya memang tetap ada. Selain itu, tren pergerakan harga emas dan aset berisiko juga cenderung berkebalikan.
Saat pasar dibanjiri sentimen negatif seperti memburuknya proyeksi ekonomi atau meningkatnya tensi geopolitik, harga emas biasanya akan melambung tinggi di saat bursa saham dan kripto justru anjlok.