DALAM bayang-bayang gemerlap lampu restoran dan aroma kuliner yang menggoda, tersembunyi kenyataan getir yang kini mencuat ke permukaan: industri restoran Indonesia tengah menghadapi tekanan akut yang mengancam kelangsungan hidupnya.
Data terkini dari PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) mengungkap realitas yang mengejutkan—tidak ada rekrutmen baru, program magang dihentikan, dan restoran “seperti mati”.
Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kemerosotan ekonomi mikro dalam satu sektor, tetapi juga memperlihatkan betapa rentannya fondasi bisnis berbasis layanan tatap muka ketika menghadapi tekanan ekonomi struktural dan kebijakan makro yang berubah drastis.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang mendesak: apakah ini sekadar krisis siklikal yang akan berlalu dengan pemulihan ekonomi, atau justru merupakan gejala dari pergeseran struktural dalam lanskap bisnis makanan dan minuman (F&B)?
Untuk menjawabnya, kita perlu menggali lebih dalam realitas ekonomi, perubahan preferensi konsumen, serta respons dari dua wajah utama industri kuliner Indonesia: restoran tradisional dan manufaktur makanan/minuman olahan.
Baca juga: Stimulus Ekonomi Juni 2025: Suntikan Adrenalin atau Sekadar Analgesik Jangka Pendek?
Analisis sektor restoran menunjukkan tekanan multidimensi. Dari sisi permintaan, pelemahan daya beli akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan indeks ekspektasi konsumen menggerus pengeluaran masyarakat pada layanan makan di luar rumah.
Bahkan, ketika Indeks Keyakinan Konsumen masih tergolong optimistis, penurunan spesifik pada pengeluaran diskresioner menandakan kehati-hatian publik untuk belanja kuliner non-esensial.
Di sisi penawaran, lonjakan biaya operasional menjadi tantangan besar. Kenaikan tarif air (71 persen), harga gas (20 persen), dan upah minimum (9 persen) secara bersamaan menekan margin laba.
Ketidakmampuan restoran untuk menaikkan harga tanpa kehilangan pelanggan menyebabkan fenomena "perang harga diam-diam," yang justru semakin menggerus profitabilitas.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah melalui Inpres No. 1 Tahun 2025 memperparah situasi, dengan membatalkan banyak acara MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama restoran di kota-kota besar dan daerah pariwisata.
Tak hanya itu, dampak terhadap ketenagakerjaan juga mengkhawatirkan. PHK massal, penghentian magang, dan minimnya lowongan kerja menggambarkan dampak sosial-ekonomi yang luas.
Baca juga: Nexus akan Menyingkirkan QRIS?
Meski data Jobstreet menunjukkan masih adanya lowongan untuk posisi spesialis seperti chef dan manajer, itu pun sangat terbatas dan terkonsentrasi pada segmen premium.
Artinya, krisis ketenagakerjaan paling parah menimpa pekerja operasional dasar dan lulusan baru yang mencari pengalaman magang—segmen terbesar dalam rantai pasok tenaga kerja restoran.
Sementara restoran tampak terpuruk, industri makanan dan minuman (mamin) dalam cakupan yang lebih luas—khususnya sektor manufaktur dan produk olahan—menunjukkan ketahanan yang relatif lebih baik.
GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia) semula optimistis menargetkan pertumbuhan industri mamin sebesar 6 persen pada 2025.