PANGGUNG ekonomi Indonesia kembali diramaikan pengumuman paket stimulus terbaru yang akan digelontorkan pemerintah mulai Juni 2025.
Ini menandai kali ketiga di tahun yang sama pemerintah meracik "resep" intervensi fiskal, orkestrasi kebijakan yang bertujuan menjaga momentum pertumbuhan. Dan yang tak kalah penting, memompa daya beli masyarakat yang terasa sedikit lesu.
Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 yang tercatat 4,87 persen, sedikit di bawah ekspektasi, namun tetap menunjukkan resiliensi, langkah proaktif ini dipandang sebagai upaya preventif sekaligus kuratif.
Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, secara eksplisit menyatakan bahwa stimulus ini dirancang untuk mengakselerasi pertumbuhan, memanfaatkan periode libur sekolah Juni-Juli sebagai katalis konsumsi, dan menjaga agar mesin ekonomi tetap berputar di kisaran target 5 persen pada kuartal kedua.
Enam jurus utama telah disiapkan, mulai dari diskon tarif transportasi hingga bantuan subsidi upah.
Baca juga: Hedonisme di Balik Palu
Namun, di tengah optimisme yang dihembuskan, pertanyaan fundamental menyeruak: apakah gelontoran stimulus ini akan menjadi suntikan adrenalin yang memacu vitalitas ekonomi secara berkelanjutan, ataukah ia hanya berfungsi sebagai analgesik yang meredakan nyeri sesaat tanpa menyembuhkan akar persoalan?
Membedah paket stimulus Juni 2025, kita menemukan serangkaian intervensi yang dirancang untuk menyentuh berbagai lapisan masyarakat dan sektor ekonomi.
Pertama, diskon tarif transportasi publik (kereta api, pesawat, kapal laut) dan kedua, potongan tarif tol yang menyasar 110 juta pengendara.
Keduanya jelas ditujukan untuk menggairahkan mobilitas dan pariwisata domestik selama periode libur.
Ketiga, diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk 79,3 juta rumah tangga berdaya hingga 1.300 VA, langkah yang lebih terfokus dibandingkan skema sebelumnya, diharapkan langsung meringankan beban pengeluaran rumah tangga.
Selanjutnya, keempat, adalah penambahan alokasi bantuan sosial (Bansos) berupa kartu sembako dan bantuan pangan untuk 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Kelima, Bantuan Subsidi Upah (BSU) kembali diaktifkan untuk pekerja berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta atau setara UMP, termasuk guru honorer, meskipun dengan besaran yang diisyaratkan lebih kecil dari era pandemi.
Terakhir, keenam, perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi sektor padat karya.
Baca juga: Menelaah Status Pengemudi Ojek Online Jadi Pekerja
Secara kolektif, intervensi ini menunjukkan upaya pemerintah untuk secara cepat meningkatkan pendapatan disposabel masyarakat dan mengurangi beban biaya, dengan harapan memicu efek domino pada peningkatan belanja dan aktivitas ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri, stimulus yang bersifat demand-side ini berpotensi memberikan dorongan instan pada angka konsumsi.