Namun, frekuensinya yang kini mencapai tiga kali dalam setahun memantik perdebatan mengenai keberlanjutannya.
Apakah ekonomi kita mulai menunjukkan gejala ketergantungan pada "obat perangsang" fiskal?
Sejumlah ekonom dan analisis, seperti yang tersirat dalam artikel Kompas.id "Pemerintah Kembali Guyur Stimulus untuk Gerakkan Konsumsi, Seberapa Ampuh?", menyoroti bahwa masalah fundamental pelemahan daya beli mungkin tidak terselesaikan hanya dengan guyuran dana sesaat.
Bahkan sebelum stimulus ini diumumkan, survei LPEM FEB UI pada Februari 2025, telah menangkap sentimen pesimis dari para ahli ekonomi mengenai kondisi ekonomi saat itu.
Kritik yang lebih mendasar adalah bahwa stimulus semacam ini cenderung bersifat paliatif, meredakan gejala tanpa menyentuh akar penyakit.
Tantangan struktural seperti produktivitas sektor riil, kualitas investasi, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan berjangka panjang, termasuk reformasi dari sisi penawaran (supply-side policies).
Lebih jauh, efektivitas stimulus juga sangat bergantung pada kepercayaan konsumen. Jika masyarakat masih dibayangi ketidakpastian akan masa depan ekonomi, tambahan dana atau diskon mungkin lebih banyak berakhir di tabungan ketimbang dibelanjakan.
Ini adalah "PR" besar yang tidak bisa dijawab hanya dengan kebijakan fiskal jangka pendek.
Setiap kebijakan stimulus, seberapapun mulia tujuannya, selalu datang dengan "label harga" yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meskipun pemerintah berupaya menjaga defisit dalam batas aman, dan telah menunjukkan kehati-hatian dengan menyasar diskon listrik lebih spesifik serta mengurangi besaran BSU, pengeluaran tambahan ini tetap menjadi beban yang perlu dikalkulasi dengan cermat.
APBN bukanlah kantong ajaib yang tak berdasar; setiap rupiah yang dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan efektivitas dan dampaknya.
Baca juga: Negeri yang Menolak Pensiun
Selain itu, lonjakan permintaan agregat yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas pasok yang memadai berpotensi memicu tekanan inflasi.
Bank Indonesia memang telah mengambil langkah antisipatif dengan penyesuaian suku bunga. Namun koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi krusial untuk menavigasi risiko ini.
Ketepatan sasaran stimulus juga menjadi faktor penentu; jika bantuan tidak sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan dan memiliki kecenderungan belanja tinggi, efektivitasnya akan berkurang sementara beban fiskal tetap sama.
Pada akhirnya, paket stimulus Juni 2025 ini adalah pertaruhan yang kompleks. Ia bisa menjadi jembatan sementara untuk melewati periode perlambatan, memberikan napas bagi konsumsi domestik.
Namun, ia bukanlah mantra sakti yang dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menindaklanjuti stimulus ini dengan reformasi struktural yang lebih dalam, membangun kepercayaan pasar, dan memastikan bahwa setiap intervensi fiskal benar-benar produktif dan berkelanjutan.
Tanpa itu, kita mungkin hanya akan terus berlari di tempat, dari satu stimulus ke stimulus berikutnya, tanpa pernah benar-benar mencapai garis finis kemandirian ekonomi yang solid.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini