DI TENGAH peta dunia yang terus bergeser, banyak negara berdiri di persimpangan. Mereka bukan lagi miskin, tapi belum sungguh kaya. Ekonominya tumbuh, tapi tak melompat.
Jalan tol dibangun, investor datang, data makro stabil—namun sesuatu tetap terasa menggantung.
Ada kemajuan, tapi belum ada kematangan. Ada capaian, tapi belum arah yang menyatu. Mereka tumbuh, tapi tak tumbuh utuh. Naik, tapi tak pernah lepas landas.
Istilah “nanggung” mungkin tidak dikenal dalam teori akademik, tapi hidup dalam percakapan rakyat. Ini adalah negara yang sudah menapaki tangga pembangunan, tapi berhenti di tengah—entah karena takut jatuh, terlalu nyaman, atau kehilangan daya juang.
Ia bukan sekadar negara berpendapatan menengah. Ia adalah negara yang bingung: antara bertahan atau bertransformasi.
Fenomena ini dikenal sebagai middle income trap. Banyak negara tumbuh pesat berkat ekspor komoditas, buruh murah, atau investasi asing.
Namun, ketika biaya meningkat dan daya saing lama memudar, mereka gagal menciptakan mesin pertumbuhan baru. Tak bisa lagi bersaing dengan negara miskin, tapi juga belum cukup inovatif untuk menyaingi negara maju. Maka stagnasi pun datang, pelan tapi pasti.
Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia
Dan jalan keluarnya terbukti sangat sempit. Menurut World Development Report 2024 dari Bank Dunia, sejak 1990 hanya 34 negara yang berhasil naik dari status berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi.
Hingga akhir 2023, masih ada 108 negara yang tertahan di tengah, menghadapi risiko serius terjebak permanen.
Artinya, dalam lebih dari tiga dekade, hanya sebagian kecil yang mampu melompat keluar dari “lorong tengah” pembangunan.
Sisanya terus menggantung—dengan wajah kemajuan di permukaan, tapi pondasi yang belum siap menopang lompatan sejarah.
Untuk melompat, dibutuhkan keberanian. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tapi pelepasan dari beban lama—dari kebijakan setengah hati, dari logika elite yang nyaman dengan status quo.
Dari pembangunan yang hanya dikendalikan dari balik meja, tanpa menyelami denyut rakyat.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail menekankan: yang membedakan negara berhasil dan gagal bukan kekayaan alam atau lokasi strategis, melainkan apakah negara itu punya institusi yang inklusif atau ekstraktif.
Institusi inklusif membuka jalan bagi partisipasi luas dan inovasi. Sementara institusi ekstraktif—yang dikendalikan segelintir elite—perlahan menghisap energi rakyat untuk memperpanjang kuasa: lewat hukum timpang, birokrasi berbelit, dan pasar yang dipagari oligarki.