
DALAM politik modern, personal branding menjadi fondasi penting bagi seorang tokoh publik. Ia bukan sekadar pencitraan, melainkan strategi komunikasi untuk membangun citra diri yang konsisten dan bermakna di mata publik.
Melalui personal branding, politisi menampilkan nilai-nilai yang diyakininya sekaligus menciptakan hubungan emosional dengan masyarakat.
Di era digital, setiap ucapan dan gestur mudah menjadi bahan persepsi publik. Karena itu, keberhasilan personal branding bergantung pada konsistensi antara kata, tindakan, dan konteks sosial.
Nama Purbaya Yudhi Sadewa langsung mencuri perhatian publik sejak menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan pada reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto, 8 September 2025.
Belum sehari menjabat, Purbaya memicu kontroversi ketika menyebut tuntutan “17+8 suara rakyat” sebagai suara “sebagian kecil rakyat yang merasa kurang.”
Baca juga: Purbayanomic: Ekonomi Tumbuh 6 Persen dengan Suntikan Rp 200 Triliun?
Kritik pun datang bertubi-tubi. Namun, langkah berikutnya justru menarik: ia cepat meminta maaf secara terbuka, mengakui kekeliruan, dan berjanji memperbaiki gaya komunikasinya.
Respons cepat dan terbuka ini mengubah arah opini publik. Gaya ceplas-ceplos yang semula dianggap blunder, pelan-pelan mulai dipandang sebagai cerminan keberanian dan keaslian—fondasi awal personal branding seorang pejabat publik.
Julukan “koboi” pun melekat pada Purbaya. Ia berbicara lugas, spontan, dan berani tanpa banyak basa-basi.
Bagi sebagian kalangan ini tampak kasar. Namun, bagi banyak orang, gaya semacam ini justru membangun kesan jujur dan apa adanya.
Dalam bukunya Mediated Authenticity (2015), Gunn Enli menjelaskan bahwa tampil “genuine” merupakan kontrak tak tertulis antara publik dan politisi—selama gaya bicara sesuai kepribadian, publik cenderung memaafkan kekeliruan.
Kultur politik Indonesia juga mengenal gaya ceplas-ceplos. Tokoh seperti Wahidin Halim dikenal dengan gaya bicaranya yang lugas dan spontan, sedangkan Ridwan Kamil menonjol lewat gaya komunikasi santai dan humoris di media sosial.
Keduanya menunjukkan bahwa publik menghargai gaya komunikasi yang terasa “nyata” dan tidak berjarak, meski bentuknya bisa berbeda—dari ceplas-ceplos hingga humoris.
Di balik gayanya yang lugas, Purbaya menunjukkan kemampuan adaptif. Ia bisa bergeser dari bahasa teknis ekonomi ke bahasa sederhana yang dipahami rakyat. Inilah bentuk komunikasi politik yang efektif—tegas, tapi mudah diterima.
Meski demikian, gaya spontan juga berisiko. Ucapan yang terlalu blak-blakan mudah disalahartikan dan berpotensi menimbulkan kegaduhan. Tanpa kredibilitas dan pengendalian pesan, gaya semacam ini bisa berubah menjadi bumerang komunikasi.
Personal branding yang kuat sering lahir dari perbedaan. Seperti ditegaskan Tom Peters (1997), inti personal branding adalah differentiation—menjadi unik di antara banyak tokoh serupa.