SUMENEP, KOMPAS.com - Wajah Arbami tampak murung dan tatapannya kosong.
Rambut lurusnya terurai hingga sebagiannya menutupi telinga kiri Arbami.
Pipi kirinya selalu menempel ke alas bambu di sebuah gubuk kecil yang telah lama dia tinggali.
Tidak ada yang tahu sakit apa yang Arbami rasakan dan apa trauma yang tidak bisa dia hilangkan.
Sebab, selama bertahun-tahun, dia sulit diajak bicara. Sudah sekitar 25 tahun dia lumpuh serta tidak bisa melakukan apa-apa.
Selama bertahun-tahun, perempuan asal Desa Beringin, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur itu hanya bisa pasrah.
Baca juga: Minim Bantuan Pemerintah Usai Banjir di Jambi, Warga: Mi Sebungkus Pun Tak Ada
Setiap hari, saat hujan deras atau terik matahari menyengat, Arbami menghadapi itu dengan cara yang sama, yakni diam di atas alas bambu.
Sebab, lumpuh yang ia derita belum ada penawarnya.
"Dia ditinggal mati oleh suaminya, dulu berkeluarga ke Kecamatan Rubaru, dia tidak bisa berjalan, akhirnya saya bawa pulang ke sini," kata Mastuya, adik Arbami di Sumenep, Rabu (23/4/2025).
Bisa dikata Arbami hidup sebatang kara.
Dia hanya mengandalkan hidup pada belas kasih adik satu-satunya, Mastuya (49), yang kondisi ekonominya tergolong sangat miskin.
Mastuya tidak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan kakaknya yang lumpuh itu.
Sebab, suaminya hanya pekerja serabutan dan pendengarannya terganggu.
Dia juga harus menghidupi keempat anaknya, yang salah satunya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Baca juga: Jalan Pemuda Sempat Lumpuh akibat Kebakaran Proyek LRT, Kini Sudah Lancar
Tidak mungkin bagi Mastuya untuk menyisihkan uang demi kesembuhan kakak satu-satunya yang tidak dikaruniai anak satu pun itu.