
DI Indonesia, kita sering mendengar istilah bonus demografi. Ia disebut sebagai peluang emas ketika jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding usia non-produktif. Banyak yang membayangkan generasi muda akan menjadi motor penggerak ekonomi, inovasi, dan masa depan bangsa.
Namun, optimisme itu mendadak terasa rapuh ketika kita membaca berita memilukan dari sebuah SMP di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Seorang siswa SMP berusia 13 tahun nekat mengakhiri hidup temannya dengan gunting. Motifnya? Dendam karena kerap dibully.
Polisi mencatat, perundungan yang dilakukan korban terhadap pelaku bukanlah sekali-dua kali, melainkan berulang sejak 19 September 2025 setidaknya lima kali hingga hari tragedi.
Peristiwa ini menjadi cermin retak wajah pendidikan kita. Bagaimana mungkin, di tengah euforia bonus demografi, sekolah tempat yang seharusnya melindungi anak-anak justru berubah menjadi arena kekerasan?
Baca juga: Mensos Ingatkan di Sekolah Rakyat Tak Boleh Ada Bullying
Generasi Z, yang kini mendominasi bangku sekolah, sering digambarkan sebagai harapan besar bangsa. Namun, kisah tragis ini memperlihatkan bahwa tanpa ekosistem yang aman, bonus demografi hanya menjadi ilusi. Alih-alih tumbuh menjadi pemimpin masa depan, mereka bisa terjebak dalam lingkaran kekerasan, trauma, dan hilangnya rasa percaya pada institusi pendidikan.
Kasus Lampung hanyalah satu kisah yang berhasil terangkat ke permukaan. Tetapi sesungguhnya, ia adalah puncak dari sebuah fenomena gunung es. Ribuan peristiwa perundungan lain terjadi setiap hari di ruang kelas, di halaman sekolah, bahkan di dunia maya. Namun tidak semuanya dilaporkan, tidak semuanya terekspos media.
Anak-anak yang dipermalukan karena fisik, dijauhi karena perbedaan, atau diejek di media sosial, banyak yang memilih diam. Mereka menanggung luka dalam sunyi, menumpuk dendam, atau perlahan kehilangan semangat hidup. Ada yang berhenti sekolah, ada yang mengalami gangguan mental, dan ada pula yang akhirnya mencari pelarian di dunia yang lebih gelap.
Fenomena gunung es ini berbahaya, karena yang tampak hanya sebagian kecil. Di bawahnya, tersembunyi masalah jauh lebih besar yang, jika dibiarkan, akan menjadi bom waktu bagi bangsa.
Baca juga: Siswa SMP yang Tusuk Temannya di Bondowoso Ternyata Anak Yatim dan Sering Jadi Korban Bullying
Bullying adalah fenomena sosial yang terus berulang dalam sejarah manusia, hanya bentuknya yang berubah. Dari perundungan di jalanan hingga ejekan di ruang kelas, bahkan kini merambah ke dunia digital. Setiap luka kecil yang dibiarkan akan menumpuk, hingga suatu hari meledak menjadi tragedi besar.
Seperti yang terjadi di Lampung, seorang anak yang terus menerus dipermalukan akhirnya menjawab penghinaan dengan kekerasan yang lebih kejam. Kita menyebut diri sebagai bangsa yang beradab, namun gagal menjadikan sekolah tempat yang benar-benar aman.
Sekolah seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar, bukan arena kekerasan. Karena itu, institusi pendidikan harus mengambil peran lebih aktif dalam pencegahan bullying. Guru dan pihak sekolah tidak boleh hanya fokus pada nilai akademik, melainkan juga pada interaksi sosial di antara siswa.
Langkah sederhana bisa dimulai dari:
Jika sekolah hanya bersikap reaktif setelah tragedi terjadi, itu sudah terlambat. Pencegahan harus dilakukan sejak tanda-tanda awal muncul, karena setiap ejekan kecil bisa menjadi awal dari lingkaran dendam yang berbahaya.
Baca juga: Kasus Bullying Siswa Baru SMPN di Blitar, Korban Minta Pindah Sekolah
Indonesia berharap pada tahun 2045 mencapai Indonesia Emas. Namun, apa arti bonus demografi jika generasi mudanya tumbuh dengan luka batin, dendam, dan ketidakpercayaan pada sistem? Bagaimana kita bisa berbicara tentang “sumber daya manusia unggul” ketika sebagian anak kehilangan rasa aman bahkan di sekolah?
Tragedi ini memberi pesan bahwa membangun generasi bukan hanya soal kurikulum atau fasilitas teknologi, melainkan soal menciptakan ekosistem sosial yang sehat di mana empati, saling menghormati, dan karakter lebih diutamakan daripada sekadar nilai ujian.
Kisah anak SMP di Lampung ini adalah alarm keras bagi kita semua. Bonus demografi tidak akan pernah menjadi berkah jika bayang-bayang bullying terus menghantui ruang kelas kita. Generasi Z yang seharusnya menjadi penentu masa depan bangsa, justru bisa terjerumus menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Sejarah mengingatkan kita: peradaban runtuh bukan karena musuh dari luar, melainkan keretakan dari dalam. Bullying adalah keretakan itu, kecil, tapi mematikan. Jika kita tidak segera menghadapinya, maka yang kita sebut sebagai “peluang emas” hanya akan menjadi lembaran sejarah tentang peluang yang disia-siakan.
Baca juga: Viral Video Bullying Siswi MTs di Donggala, Tiga Pelaku Dikeluarkan dari Sekolah
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang