PADA Maret lalu, Presiden Joe Biden menandatangani rencana strategis nuklir baru Amerika Serikat (AS), yang menekankan pada peningkatan kemampuan nuklir China dan kemungkinan serangan bersama dengan Rusia dan Korea Utara.
Langkah ini mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin kompleks dan memperlihatkan kekhawatiran AS atas pergeseran kekuatan global.
Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, seharusnya merespons perkembangan ini?
Sejarah penggunaan senjata nuklir dalam konflik global dimulai oleh AS pada Perang Dunia II, ketika dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Tragedi ini membuka era baru dalam hubungan internasional, di mana kekuatan nuklir menjadi instrumen penting dalam politik global.
Setelahnya, perlombaan senjata nuklir antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur di bawah Uni Soviet semakin intensif.
Perlombaan ini tidak hanya berkisar pada kuantitas senjata, tetapi juga kecanggihan teknologi yang digunakan.
Bagi banyak negara, kepemilikan senjata nuklir memberikan jaminan keamanan yang unik, mengingat potensi kehancuran yang ditimbulkan oleh senjata ini mampu menahan lawan untuk melakukan serangan terlebih dahulu.
Dalam sejarahnya, China memang telah lama berada di posisi yang lebih lemah dalam perlombaan senjata nuklir, terutama dibandingkan dengan AS dan Rusia.
Namun, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China telah melakukan ekspansi besar-besaran dalam pengembangan senjata nuklir.
Jumlah hulu ledak nuklir China diproyeksikan akan mencapai 1.500 pada tahun 2030, hampir setara dengan AS dan Rusia. Lonjakan ini mengubah perimbangan kekuatan di Asia dan menimbulkan kekhawatiran global.
Dalam analisis geopolitik dan neo-realis, perkembangan ini dapat dilihat melalui konsep balance of power (keseimbangan kekuatan) dan security dilemma (dilema keamanan).
Konsep balance of power menekankan bahwa keseimbangan kekuatan antar-negara akan mencegah dominasi salah satu pihak dan menjaga stabilitas internasional.
Peningkatan kekuatan nuklir China berpotensi mengganggu keseimbangan kekuatan di kawasan Asia-Pasifik, terutama mengingat hubungan erat China dengan Rusia dan Korea Utara.
Sementara itu, security dilemma menjelaskan bahwa upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya justru dapat menimbulkan rasa tidak aman di pihak lain, yang kemudian merespons dengan meningkatkan kekuatan militernya. Inilah yang terjadi antara AS dan China.