AMERIKA memang belum ditakdirkan memiliki presiden wanita, kendati negeri ini selalu memaklumatkan diri sebagai bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi kesetaraan gender.
Kemenangan Donald Trump baru-baru ini, merontokkan dua wanita calon presiden dari Partai Demokrat, yakni Hillary Clinton pada 2016 dan Kamala Harris pada 2024.
Salah satu faktor kekalahan Kamala Harris adalah keterlambatannya memaklumkan diri bahwa ia ingin jadi presiden.
Sementara Donald Trump sudah jauh lebih dulu bergerak. Kamala Harris kalah start karena Joe Biden terlambat menyatakan dirinya tidak ikut kontestasi.
Kini, dunia menanti gebrakan apa yang dilakukan oleh Trump yang bisa memengaruhi konstelasi dunia.
Maklum, negeri adidaya, Amerika Serikat, sejak Perang Dunia II usai, selalu berpretensi sebagai kekuatan pengatur dunia.
Malah, setelah perang dingin berakhir pada 1991, negeri Paman Sam ini mengklaim dirinya sebagai hegemonic power. Joseph Nye menyebutnya sebagai bound to lead.
Ada yang menganalisis bahwa nasib Timur Tengah di bawah kepemimpinan Trump kelak, kian kelam. Terutama dengan kejadian di Gaza sekarang.
Negara-negara Arab kian tertindas dan didekte oleh Israel karena kata mereka, Trump selalu memihak dan mengikuti keinginan Israel.
Asumsi ini diperkuat dengan fakta bahwa Donald Trump adalah Presiden Amerika Serikat yang memindahkan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem, kota yang selalu diklaim oleh Palestina dan Israel sebagai milik mereka. Kota yang selalu menjadi sumber dan sumbu konflik.
Namun, ada juga yang berpikir sebaliknya. Kelompok ini beranggapan bahwa Trump akan berlaku keras kepada Israel dan berikhtiar mencari solusi damai di Timur Tengah sekarang ini.
Pihak ini mengajukan dua alasan utama. Pertama, sejumlah kelompok dan organisasi Islam menjadi pendukung Donald Trump dalam pemilihan presiden lalu. Politik balas budi akan berlaku di sini.
Kedua, pada Agustus 2020 lalu, Donald Trump berhasil mensponsori "Abraham Accord" (Perjanjian Abraham) antara Israel dengan Maroko, Sudan, Bahrain, dan United Arab Emirate.
Perjanjian ini merupakan perjanjian damai antara Israel dengan negara-negara tersebut. Maka, kata kelompok ini, tidak mungkin Trump merusak reputasinya dengan cara berseberangan dengan negara-negara Arab dan memihak kepada Israel.
Posisi saya sangat jelas. Sama dengan sejumlah presiden pendahulunya, Trump tetap akan memihak, malah bersekutu erat dengan Israel, termasuk dalam perang Gaza sekarang ini.