ISRAEL mengejutkan dunia dengan melakukan serangan mendadak ke Gaza pada Selasa (18/03/2025) dini hari, di bulan suci Ramadhan, dengan dalih bahwa gencatan senjata telah berakhir.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengaku geram bahwa negosiasi pembebasan sandera dengan Hamas mengalami jalan buntu sehingga aksi militer brutal menjadi opsi.
Saat ini Benjamin Netanyahu sedang menghadapi tekanan politik yang luar biasa dari dalam negerinya. Lawan-lawan politiknya menyerang Netanyahu karena dianggap “tidak becus” menyelesaikan konflik dengan Hamas secara strategis.
Sementara itu, mitra koalisi politiknya dari kelompok ultranasionalis dan religius, yang sebelumnya menolak keras gencatan senjata, mendesak tindakan lebih keras terhadap Hamas.
Selain itu, sampai saat ini parlemen Israel (Knesset) masih belum menyetujui anggaran yang telah lama tertunda untuk tahun 2025. Jika sampai 31 Maret 2025 masih belum disahkan, maka pemerintah secara otomatis dibubarkan dan negara harus menggelar pemilu dini.
Baca juga: Menangkap Netanyahu?
Netanyahu terperangkap di antara dua arus politik dan harus menemukan cara untuk tetap berkuasa di tengah ancaman dari berbagai arah.
Untuk menghadapi ketidakstabilan internal, maka Netanyahu menciptakan “musuh eksternal”, agar masyarakat Israel mengabaikan perpecahan politik dalam negerinya.
Peningkatan tekanan dari kelompok sayap kanan yang menyangga kekuasaan Netanyahu mendorong dirinya memilih aksi militer sebagai jalan keluar.
Jika gencatan senjata terus diperpanjang, Netanyahu berisiko kehilangan dukungan dari mitra-mitra koalisinya di parlemen (Knesset), yang telah mengancam akan menarik dukungan dan menjatuhkan pemerintahannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, serangan Netanyahu ke Gaza di bulan Ramadhan ini bukan sekadar keputusan militer, tetapi strategi politik yang dirancang untuk memertahankan kekuasaannya.
Netanyahu memahami bahwa jika ia terlihat terlalu kompromistis dengan Hamas, pesaing-pesaing politiknya akan memanfaatkan itu untuk mendegradasi posisinya.
Dengan melancarkan serangan militer ke Gaza, Netanyahu akan berhasil mengamankan dukungan dari kelompok sayap kanan.
Partai-partai ultranasionalis dan religius yang menyokongnya akan tetap berada dalam barisan koalisi bersama Partai Likud.
Tampaknya, Netanyahu akan berlanjut menyerang Gaza secara brutal dan lebih mematikan dari sebelum-sebelumnya. Hal ini karena strategi “musuh di luar” bisa menjadi bumerang bagi Netanyahu, apabila serangan ke Gaza kali ini tidak menghasilkan kemenangan yang jelas.
Kalau tidak ada hasil nyata, Netanyahu akan segera kehilangan dukungan yang selama ini dia jaga. Selain itu, kalau taktik "menciptakan musuh di luar " ini mengalami gagal menang, rakyat Israel pasti sadar bahwa itu cuma akal-akalan. Dipastikan Netanyahu akan kehilangan legitimasi politiknya.
Baca juga: Penangkapan Duterte: Drama Politik dan Angin Segar ICC