PEMILU Australia pada 3 Mei 2025, menghasilkan kemenangan telak bagi Partai Buruh di bawah Anthony Albanese, yang kembali menjabat sebagai Perdana Menteri dengan proyeksi 81 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dari perspektif yuridis kenegaraan, pemilu di sana turut menawarkan pelajaran berharga bagi Indonesia: mewujudkan demokratisasi pemilu yang lebih substantif.
Menariknya, kemenangan ini juga memperlihatkan pentingnya kepemimpinan yang responsif, yakni kepemimpinan adaptif, kolaboratif, dan peka terhadap kebutuhan publik (Kettl, 2002), yang turut memperkuat kedewasaan demokrasi konstitusional Australia.
Konstitusi Australia 1901 menjadi fondasi kuat bagi demokrasi parlementer negara tersebut, yang secara tegas mengatur pembagian kekuasaan, sistem pemilu yang demokratis, serta mekanisme checks and balances.
Kewajiban memilih bagi warga negara yang telah berusia 18 tahun di negara tersebut, misalnya, berkontribusi besar terhadap partisipasi tinggi, yang pada Pemilu 2022 mencapai 90 persen (Australian Electoral Commission, 2025).
Pada Pemilu 2025, alih-alih menurun, banyak pihak memprediksi partisipasinya akan lebih tinggi dari Pemilu 2022 dengan 18,1 juta pemilih terdaftar menggunakan hak pilih (Western Australian Electoral Commission, 2025).
Transparansi dalam pendanaan kampanye, yang telah diatur sejak 1984 oleh Komisi Pemilihan Umum Australia (AEC), menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas pemilu (Australian Electoral Commission, 2024).
Baca juga: Oposisi Individual Mahfud MD
Setiap partai politik wajib melaporkan sumbangan yang diterima di atas ambang batas tertentu, sehingga publik dapat mengawasi potensi konflik kepentingan.
Dalam episentrum teori demokrasi deliberatif, partisipasi dan transparansi yang demikian memang merupakan dua pilar utama dalam pemilu (Habermas, 1996).
Di sisi lain, institusi elektoral Australia juga menjadi sorotan penting. Pemungutan suara wajib, sistem preferensial dalam pemungutan suara, serta pendanaan publik untuk kampanye memberikan jaminan lebih bagi akuntabilitas dan partisipasi.
Kendati sistem dua partai dominan juga mengandung potensi pengerdilan pluralisme, tapi stabilitas dan keterwakilan tetap menjadi ciri utama sistem politik mereka.
Berkebalikan dengan Indonesia, sistem multipartai yang kompleks justru menanggalkan penguatan institusi elektoral yang berujung lahirnya koalisi pragmatis dan minus arah kebijakan yang jelas (Mochtar, 2019).
Seperti sering dikumandangkan: UUD 1945 menjamin daulat berada di tangan rakyat yang bertumpu pada prinsip negara hukum.
Artinya, pemimpin terpilih wajib tunduk pada aspirasi rakyat dan prinsip-prinsip hukum. Dalam konteks pemilu, alih-alih prosedur belaka, supremasi konstitusi harus benar-benar terinternalisasi dalam hajatan demokrasi.
Permasalahannya, bak jauh panggang dari api, pemilu Indonesia masih jauh dari demokrasi substantif. Padahal, demokrasi tak cukup hanya memastikan pemilu digelar secara berkala.