DALAM setiap babak sejarah, perguruan tinggi acapkali menjadi rumah pertama yang dibungkam manakala kekuasaan merasa terancam.
Apa yang terjadi di Universitas Harvard, Amerika Serikat, saat ini lebih dari sekadar polemik antara instansi pendidikan dan otoritas pemerintahan. Ini adalah babak baru dari konflik klasik: kekuasaan (negara) melawan kebebasan akademik.
Saat Presiden AS Donald Trump menekan Harvard dengan dalih keamanan nasional dan isu sensitif seperti antisemitisme, kita sedang menyaksikan serius bagaimana demokrasi konstitusional diuji melalui institusi paling fundamental: kampus.
Bagi publik Indonesia, kasus ini bukan sekadar berita dari negeri jauh. Ini cermin peradaban.
Ia mengajak kita melihat ke dalam diri: bagaimana negara memperlakukan kampus; bagaimana pendidikan tinggi menghadapi tekanan politik; dan bagaimana mahasiswa—termasuk anak-anak bangsa penerima beasiswa, termasuk beasiswa LPDP di Harvard—menjadi korban dari pertarungan wacana yang besar.
Baca juga: Duduk Perkara Trump Vs Harvard: Larang Mahasiswa Asing, China Ikut Murka
Ketika Harvard menolak memberikan data identitas mahasiswa yang mengikuti aksi pro-Palestina, pemerintah Amerika Serikat (AS) merespons dengan ancaman serius: pencabutan izin mahasiswa asing, pemotongan dana riset, dan tekanan publik.
Ini bukan hanya masalah administrasi, tapi menyentuh jantung nilai AS: kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik, yang dijamin Konstitusi AS melalui Amandemen Pertama.
Dalam berbagai pernyataannya, Harvard tidak hanya membela institusinya, tetapi juga membela prinsip konstitusi dan demokrasinya: kampus bukan alat negara.
Kampus adalah ruang otonom, tempat kritik dilahirkan, tempat kebenaran diuji, termasuk kebenaran yang tak nyaman bagi penguasa.
Sampai di titik ini, kita teringat nukilan Albert Einstein (1901): “penghormatan tanpa kritis terhadap otoritas kekuasaan merupakan musuh terbesar kebenaran.”
Seturut itu, Hannah Arendt (2006) pernah mengetengahkan bahwa kebenaran tidak pernah aman dalam sistem politik mana pun. Dan kini, Harvard tengah menyelami ujian itu lagi, berkali-kali.
Bila diletakkan dalam konteks nasional, Indonesia tidak hidup dalam ruang hampa. Sejarah kita menyimpan memori tentang kampus-kampus yang disusupi, dibungkam, bahkan ditundukkan.
Dari tragedi 1965-1967, era Orde Baru, hingga gelombang Reformasi 1998, kampus acapkali menjadi medan tarik-menarik antara idealisme akademik dan kepentingan kekuasaan.
Peristiwa di Harvard tak ayal membuka ruang refleksi: apakah pendidikan tinggi kita hari ini sungguh bebas dari intervensi politik? Apakah kampus kita bisa dengan aman mengkritik negara, tanpa takut dibungkam, dicabut anggaran, atau dijerat etik?
Padahal, Pasal 28C dan 28E UUD 1945 menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat.
Baca juga: Apa Kabar Reformasi?