Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Dirgantara
Peneliti Hukum dan Direktur PT. Gajah Mada Analitika

Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

Harvard Vs Kekuasaan: Cermin Demokrasi bagi Indonesia

Kompas.com - 25/05/2025, 13:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM setiap babak sejarah, perguruan tinggi acapkali menjadi rumah pertama yang dibungkam manakala kekuasaan merasa terancam.

Apa yang terjadi di Universitas Harvard, Amerika Serikat, saat ini lebih dari sekadar polemik antara instansi pendidikan dan otoritas pemerintahan. Ini adalah babak baru dari konflik klasik: kekuasaan (negara) melawan kebebasan akademik.

Saat Presiden AS Donald Trump menekan Harvard dengan dalih keamanan nasional dan isu sensitif seperti antisemitisme, kita sedang menyaksikan serius bagaimana demokrasi konstitusional diuji melalui institusi paling fundamental: kampus.

Ujian bagi Harvard dan Demokrasi

Bagi publik Indonesia, kasus ini bukan sekadar berita dari negeri jauh. Ini cermin peradaban.

Ia mengajak kita melihat ke dalam diri: bagaimana negara memperlakukan kampus; bagaimana pendidikan tinggi menghadapi tekanan politik; dan bagaimana mahasiswa—termasuk anak-anak bangsa penerima beasiswa, termasuk beasiswa LPDP di Harvard—menjadi korban dari pertarungan wacana yang besar.

Baca juga: Duduk Perkara Trump Vs Harvard: Larang Mahasiswa Asing, China Ikut Murka

Ketika Harvard menolak memberikan data identitas mahasiswa yang mengikuti aksi pro-Palestina, pemerintah Amerika Serikat (AS) merespons dengan ancaman serius: pencabutan izin mahasiswa asing, pemotongan dana riset, dan tekanan publik.

Ini bukan hanya masalah administrasi, tapi menyentuh jantung nilai AS: kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik, yang dijamin Konstitusi AS melalui Amandemen Pertama.

Dalam berbagai pernyataannya, Harvard tidak hanya membela institusinya, tetapi juga membela prinsip konstitusi dan demokrasinya: kampus bukan alat negara.

Kampus adalah ruang otonom, tempat kritik dilahirkan, tempat kebenaran diuji, termasuk kebenaran yang tak nyaman bagi penguasa.

Sampai di titik ini, kita teringat nukilan Albert Einstein (1901): “penghormatan tanpa kritis terhadap otoritas kekuasaan merupakan musuh terbesar kebenaran.”

Seturut itu, Hannah Arendt (2006) pernah mengetengahkan bahwa kebenaran tidak pernah aman dalam sistem politik mana pun. Dan kini, Harvard tengah menyelami ujian itu lagi, berkali-kali.

Bila diletakkan dalam konteks nasional, Indonesia tidak hidup dalam ruang hampa. Sejarah kita menyimpan memori tentang kampus-kampus yang disusupi, dibungkam, bahkan ditundukkan.

Dari tragedi 1965-1967, era Orde Baru, hingga gelombang Reformasi 1998, kampus acapkali menjadi medan tarik-menarik antara idealisme akademik dan kepentingan kekuasaan.

Peristiwa di Harvard tak ayal membuka ruang refleksi: apakah pendidikan tinggi kita hari ini sungguh bebas dari intervensi politik? Apakah kampus kita bisa dengan aman mengkritik negara, tanpa takut dibungkam, dicabut anggaran, atau dijerat etik?

Padahal, Pasal 28C dan 28E UUD 1945 menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat.

Baca juga: Apa Kabar Reformasi?

Halaman:

Terkini Lainnya
Ada Apa di Los Angeles? Penggerebekan Imigran Berujung Ricuh
Ada Apa di Los Angeles? Penggerebekan Imigran Berujung Ricuh
Global
Gempa di Kolombia M 6,3 Bikin Warga Bogota Berhamburan ke Jalan
Gempa di Kolombia M 6,3 Bikin Warga Bogota Berhamburan ke Jalan
Global
Iran Klaim Dapatkan Ribuan Dokumen Intelijen Israel soal Nuklir dan Pertahanan
Iran Klaim Dapatkan Ribuan Dokumen Intelijen Israel soal Nuklir dan Pertahanan
Global
Ketegangan di Los Angeles, Trump Kerahkan 2.000 Garda Nasional
Ketegangan di Los Angeles, Trump Kerahkan 2.000 Garda Nasional
Global
Nenek Usia 88 di AS Akhirnya Raih Ijazah Universitas yang Tertunda Selama 60 Tahun
Nenek Usia 88 di AS Akhirnya Raih Ijazah Universitas yang Tertunda Selama 60 Tahun
Global
Rusia Bakal Serang Wilayah Industri di Ukraina untuk Pertama Kalinya
Rusia Bakal Serang Wilayah Industri di Ukraina untuk Pertama Kalinya
Global
Kronologi Penembakan Miguel Uribe, dari Aksi Kampanye hingga Penangkapan Pelaku
Kronologi Penembakan Miguel Uribe, dari Aksi Kampanye hingga Penangkapan Pelaku
Global
Kolombia Buru Dalang Penembakan Miguel Uribe, Ada Hadiah Rp 11,8 Miliar
Kolombia Buru Dalang Penembakan Miguel Uribe, Ada Hadiah Rp 11,8 Miliar
Global
Ibu Miguel Uribe Pernah Jadi Korban Kartel Narkoba Kolombia
Ibu Miguel Uribe Pernah Jadi Korban Kartel Narkoba Kolombia
Global
Kapal yang Bawa Greta Thunberg ke Gaza Hampir Tiba, Israel Siap Mencegat
Kapal yang Bawa Greta Thunberg ke Gaza Hampir Tiba, Israel Siap Mencegat
Global
Capres Kolombia Ditembak Saat Kampanye Kini Kritis, Pelaku Diduga di Bawah Umur
Capres Kolombia Ditembak Saat Kampanye Kini Kritis, Pelaku Diduga di Bawah Umur
Global
Rela Digigit Ular 200 Kali untuk Perkuat Antibodi, Pria Ini Jadi 'Pahlawan'
Rela Digigit Ular 200 Kali untuk Perkuat Antibodi, Pria Ini Jadi "Pahlawan"
Global
Anaknya Pamer Hidup Mewah, PM Mongolia Mundur dari Jabatan
Anaknya Pamer Hidup Mewah, PM Mongolia Mundur dari Jabatan
Global
Minim Penduduk, Kota di Jerman Tawarkan Penginapan Gratis untuk Gaet warga Baru
Minim Penduduk, Kota di Jerman Tawarkan Penginapan Gratis untuk Gaet warga Baru
Global
Elon Musk Setuju Trump Dimakzulkan, Usulkan JD Vance Jadi Pengganti
Elon Musk Setuju Trump Dimakzulkan, Usulkan JD Vance Jadi Pengganti
Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau