KOMPAS.com - Rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengurangi batas minimal luas rumah subsidi, baik tanah maupun bangunan, memicu kontroversi.
Seperti diketahui, di dalam draf aturan terbaru Keputusan Menteri (Kepmen) PKP Nomor.../KPTS/M/2025 mengisyaratkan penyusutan luas minimal rumah subsidi dibandingkan aturan sebelumnya (Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023).
Batas minimal luas tanah yang sebelumnya 60 meter persegi dipangkas menjadi 25 meter persegi. Kemudian, minimal luas bangunan dari 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.
Sementara itu, ketentuan batas maksimal luas rumah subsidi masih tetap, yaitu luas tanah 200 meter persegi dan luas bangunan 36 meter persegi.
Baca juga: Rumah Subsidi Mau Diperkecil, Program Serius yang Makin Tak Manusiawi
Pengamat sektor perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar memberikan analisis perbandingan terkait dampak pengurangan luas rumah subsidi berdasarkan draf ketentuan baru dengan ketentuan yang lama.
Dia menjelaskan, apabila bangunan rumah tapak terlalu kecil, yakni sampai 18 meter persegi, masyarakat akan kekurangan ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur yang memadai.
"Rumah yang manusiawi harus cukup luas lantai dan jumlah ruangannya. Kamar harus lebih dari satu, memisahkan kamar tidur untuk orang tua dan anak," ujar Jehansyah Siregar kepada Kompas.com pada Kamis (5/6/2025).
Luas tanah rumah tapak yang terlalu kecil dianggap akan mengorbankan halaman. Halaman yang hijau ini sangat diperlukan untuk kesehatan penghuninya.
Selain itu, lahan 24 meter persegi dari total 60 meter persegi itu (dengan bangunan 36 meter persegi) juga berfungsi sebagai area resapan air.
"Jadi standar minimal luas tanah 60 meter persegi itu tujuannya untuk mendapatkan lingkungan permukiman yang sehat dan berkelanjutan sebagaimana amanat Pasal 28-H UUD 1945," tandasnya.
Lanjut Jehansyah Siregar, rumah subsidi yang diperkecil menjadi minimal tipe 18/25 ini mungkin bisa saja laris di pasaran jika lokasinya sangat strategis.
Apalagi batasan maksimal gaji masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang boleh membeli rumah subsidi diperluas.
Kendati demikian, perumahan kecil di kawasan metropolitan ini dinilai akan menimbulkan urban sprawl (perluasan perkotaan) yang membuat pertumbuhan kota jadi semrawut dan menyebar-nyebar (scattered).
"Scattered urban sprawl ini pada gilirannya akan menghabiskan daya dukung alam dan prasarana kota," imbuhnya.
Baca juga: Kadin soal Rumah Subsidi Makin Sempit: Perlu Kajian Sosial Budaya
Menurut dia, dengan batasan penghasilan maksimal MBR yang sudah dinaikkan, peminat rumah subsidi diperkirakan juga akan naik namun dianggap menjadi salah sasaran.
Karena, bukan lagi menyasar MBR yang berpenghasilan maksimal sekitar Rp 5 juta.
Akibatnya, kelompok MBR sasaran yang seharusnya itu akan tetap memilih jadi komuter atau tinggal di permukiman kumuh perkotaan.
"Dampaknya, program perumahan rakyat tidak akan efektif mengurangi housing backlog (bakclog rumah) dan permukiman kumuh," pungkas Jehansyah Siregar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.