KOMPAS.com - Bata merah, sebagai material dinding tradisional yang banyak digunakan di Indonesia, memiliki reputasi kuat dan tahan lama, terutama untuk rumah tinggal seperti.
Namun, meskipun populer, bata merah memiliki sejumlah kekurangan yang signifikan, terutama jika dianalisis dari perspektif saintifik berdasarkan sifat material, performa struktural, dan dampak lingkungan.
Bata merah terbuat dari tanah liat yang dibentuk, dikeringkan, dan dibakar pada suhu tinggi (900–1.200°C) hingga mengeras. Ukuran standar di Indonesia sekitar 23 x 11 x 5 cm, dengan berat 2–3 kg per unit.
Baca juga: Apakah Bata Ringan Mudah Retak? Ini Penjelasannya
Material ini dikenal karena kuat tekan tinggi (5–15 MPa) dan ketahanan jangka panjang, tetapi memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan.
Berikut adalah analisis kekurangan bata merah:
Batu bata merah memiliki porositas 10–20 persen, tergantung pada kualitas pembakaran (Journal of Materials in Civil Engineering, 2020).
Porositas ini menyebabkan penyerapan air hingga 15–20 persen dari berat keringnya, jauh lebih tinggi dibandingkan beton aerasi (AAC) yang memiliki pori tertutup.
Penyerapan air tinggi meningkatkan risiko rembesan, kerusakan plesteran, dan pertumbuhan lumut pada dinding.
Di daerah dengan curah hujan tinggi, dinding bata merah rentan terhadap kelembapan tanpa pelapisan aci (plester) tebal (1–2 cm) dan cat tahan air, yang menambah biaya (Rp 50.000–Rp 100.000/meter persegi).
Baca juga: Keunggulan dan Kekurangan Baja Ringan untuk Rangka Atap Rumah
Studi dalam Construction and Building Materials (2021) menunjukkan bahwa dinding bata merah tanpa pelindung memiliki risiko kerusakan akibat air 30 persen lebih tinggi dibandingkan AAC.
Bata merah memiliki kuat tarik rendah (0.5–1 MPa) dibandingkan kuat tekan (5–15 MPa), menjadikannya rapuh terhadap tegangan tarik (Journal of Earthquake Engineering, 2022).
Di daerah rawan gempa dinding bata merah mudah retak atau runtuh tanpa perkuatan seperti sloof, kolom praktis, dan ring balok.
Struktur dinding bata merah membutuhkan penguatan beton bertulang setiap 3–4 meter, menambah biaya konstruksi sekitar 10–15 persen (Rp 1 juta–Rp 2 juta/meter persegi untuk kolom dan balok).
Baca juga: Batu Bata Merah vs Bata Ringan: Mana Lebih Kuat untuk Rumah?
Tanpa perkuatan, retakan struktural (lebar >1 mm) dapat terjadi pada intensitas gempa V–VI MMI.
Penelitian dari Journal of Structural Engineering (2023) menunjukkan bahwa dinding bata merah tanpa perkuatan memiliki risiko keruntuhan 40 persen lebih tinggi dibandingkan AAC pada gempa magnitudo 6.0.