JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) mengimbau masyarakat menjaga kondusivitas dalam menyampaikan pendapat tanpa mengorbankan warisan arsitektur dan simbol kelembagaan yang menjadi bagian dari memori kolektif Indonesia.
Ketua Umum (Ketum) IAI Georgius Budi Yulianto menilai, aspirasi hendaknya tetap disalurkan dengan cara yang damai,
"Kerusakan bisa diperbaiki, tetapi nilai sejarah yang hilang tidak akan pernah kembali," tutur arsitek yang kerap disapa Boegar, kepada Kompas.com, Senin (1/9/2025).
Imbauan ini bukan tanpa sebab. Karena, belum lama ini Gedung Grahadi di Surabaya, Jawa Timur dibakar massa, Sabtu (30/8/2025) malam.
Baca juga: AHY: Investigasi dan Tegakkan Hukum atas Pembakaran Gedung Grahadi
Padahal, Gedung Grahadi bukan bangunan biasa. Dibangun pada tahun 1795 pada masa Residen Dirk Van Hogendorps, awalnya berfungsi sebagai rumah kebun peristirahatan pejabat Belanda.
Seiring waktu, Grahadi menjadi pusat kegiatan pemerintahan, tempat pelantikan pejabat, menerima tamu negara, hingga peringatan Hari Kemerdekaan.
Sejak 1991, Grahadi bahkan dibuka untuk wisata publik. Sehingga, masyarakat luas dapat mengenal sejarah sekaligus nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Boegar menilai, peristiwa terbakarnya Gedung Negara Grahadi di Surabaya beberapa hari lalu tentu sangat memprihatinkan.
"Kita semua memahami keresahan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, karena itu adalah hak yang dijamin undang-undang. Namun, sangat disayangkan ketika penyampaian pendapat secara massal berpotensi disusupi pihak-pihak tidak bertanggung jawab sehingga berujung pada pengrusakan dan pembakaran," tegasnya.
Baca juga: Sejarah dan Arsitektur Gedung Grahadi Surabaya yang Dibakar Massa
Dalam kondisi huru-hara, massa sering kali terprovokasi dengan menjadikan bangunan arsitektur sebagai sasaran. Karena, ia dipandang sebagai simbol, bukan sekadar fisik belaka.
Menurutnya, kita perlu mengakui bahwa kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelestarian bangunan bersejarah masih rendah.
Edukasi publik menjadi pekerjaan rumah bersama, baik bagi pemerintah, akademisi, maupun masyarakat sipil.
Boegar menuturkan, bangunan cagar budaya bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan juga jembatan identitas dan simbol keberlangsungan sejarah bangsa.
Dia menambahkan, kerusakan akibat kebakaran di sayap barat Grahadi terasa semakin memilukan karena bagian tersebut merupakan salah satu elemen lama yang masih autentik.
Baca juga: Belajar dari Grahadi, Ini Cagar Budaya di Jakarta yang Harus Dijaga
"Upaya restorasi tentu akan sangat besar, tetapi lebih dari itu, kehilangan nilai otentik sejarah tidak bisa tergantikan," tambahnya.
Peristiwa ini sekaligus menjadi alarm bagi seluruh pihak tentang betapa rentannya bangunan-bangunan cagar budaya terhadap gejolak sosial yang tidak terkendali.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang