KOMPAS.com – Pendidikan kesehatan reproduksi sering kali dianggap topik yang terlalu dewasa untuk anak-anak.
Padahal, menurut Hana Maulida, Pendiri Yayasan Kakak Aman Indonesia, percakapan ini justru sebaiknya dimulai sejak dini, bahkan sejak anak masih bayi.
“Kalau kita tahu life skill itu seperti berenang atau mencari makan, sebenarnya pendidikan seksual juga bagian dari life skill,” ujar Hana, saat dimintai pandangan Kompas.com, Rabu (29/10/2025).
Baca juga: Vino G Bastian Suarakan Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Lewat Film Shutter
“Lewat pendidikan ini, anak belajar bahwa dirinya berharga. Ketika tahu dirinya berharga, ia akan tahu bagaimana menjaga dan melindungi diri,” lanjutnya.
Yayasan Kakak Aman Indonesia sendiri merupakan organisasi yang berfokus pada upaya pencegahan kekerasan seksual anak melalui pendidikan seksual yang interaktif dan menyenangkan. Organisasi ini berbasis di Kota Serang, Banten.
Pendidikan seksual adalah keterampilan hidup
Hana menyampaikan, pendidikan seksual pada dasarnya tak hanya bicara soal hubungan seksual, melainkan tentang bagaimana seseorang mengenal dirinya, identitas gender, dan batasan pribadi.
“Pendidikan seksual adalah perjalanan seseorang mengenal dirinya, termasuk identitas seksual dan gendernya. Semakin paham tentang diri sendiri, semakin tahu bagaimana membawa diri dan melindungi diri,” ucap dia.
Hana menilai, di era digital saat ini, tantangan terhadap keamanan anak semakin besar. Anak-anak sudah terpapar media sosial sejak dini, sementara kejahatan seksual di dunia maya juga meningkat.
“Anak-anak harus dibekali keterampilan melindungi diri. Salah satunya lewat pendidikan seksual,” tegas Hana.
Baca juga: Darurat Pendidikan Seksual di Indonesia
Masih dianggap tabu
Meski penting, Hana mengakui bahwa banyak orang tua masih menganggap topik ini tabu.
“Banyak yang berpikir anak akan mengerti dengan sendirinya seiring bertambahnya usia. Padahal, tidak begitu,” ujarnya.
Ia bahkan menyayangkan bahwa sebagian kasus kekerasan seksual justru dilakukan oleh orang terdekat, termasuk anggota keluarga sendiri.
“Orang tua seharusnya jadi pihak pertama yang mengedukasi anak, bukan malah menjadi pelaku,” katanya.
“Pendidikan seksual bukan cuma soal seksualitas, tapi juga soal mengenal diri dan memahami bahwa dirinya berharga”.
Kapan waktu yang tepat memulai?
Hana menegaskan, pendidikan seksual bisa dimulai sedini mungkin, bahkan sejak bayi.
“Ketika mengganti popok, orang tua bisa mulai dengan meminta izin. Misalnya, ‘Nak, Ibu atau Ayah izin ya membuka popok dan membersihkan bagian pribadinya’,” ujar Hana.
Menurutnya, kebiasaan kecil seperti ini mengajarkan anak tentang batasan tubuh dan konsep consent (persetujuan) sejak dini.
“Dari hal sederhana itu, anak akan paham bahwa ada bagian tubuh yang tidak boleh diakses orang lain,” tambahnya.
Baca juga: Sejarah Gowok, Kamasutra dari Banyumas, Tradisi Pendidikan Seksual bagi Calon Pengantin Pria
Menyesuaikan cara bicara sesuai usia
Pendidikan seksual, lanjut Hana, perlu disesuaikan dengan usia anak. Untuk anak-anak usia dini, orang tua sebaiknya menghindari istilah medis atau biologis yang kompleks.
“Gunakan bahasa sederhana. Misalnya, ajarkan anak menjaga kebersihan bagian tubuhnya dan tidak membiarkan orang lain menyentuhnya,” jelasnya.
Namun, ketika anak mulai memasuki usia sekolah dasar, orang tua sudah bisa memperkenalkan nama biologis organ reproduksi, seperti penis dan vagina.
“Banyak orang tua masih menghindari kata itu, padahal penting agar anak tahu perbedaan jenis kelamin dan bagian tubuh mana yang harus dilindungi,” katanya.
Baca juga: Eks Kapolres Ngada Tersangka Kekerasan Seksual, Wamendukbangga Dorong Pendidikan Seksual pada Anak
Dongeng dan lagu sebagai media belajar
Di Yayasan Kakak Aman sendiri, kata Hana, pendekatan yang digunakan untuk mengajarkan topik Pendidikan seksual diupayakan bersifat interaktif.
Misalnya, Kakak Aman sejauh ini kerap menggunakan dongeng, lagu, dan permainan agar pesan mudah diterima anak-anak.
“Dalam dongeng, kami sering menggambarkan sosok orang dewasa yang awalnya baik, tapi ternyata punya niat jahat di akhir cerita,” jelasnya.
“Setelah itu ada sesi dialog interaktif, lalu bernyanyi dan bermain gim. Semua kegiatannya menyisipkan pesan tentang bagian tubuh pribadi, batasan pribadi, dan apa yang harus dilakukan saat merasa tidak nyaman”.
Beberapa materi tersebut juga dapat diakses melalui kanal YouTube Kakak Aman Indonesia, yang menampilkan lagu-lagu edukatif bertema perlindungan diri anak.
Baca juga: PSW UGM Bagikan Tips bagi Orangtua Beri Pendidikan Seksual ke Anak
Berbicara dengan remaja: jangan menggurui
Menurut Hana, tantangan terbesar justru datang ketika anak mulai beranjak remaja.
“Anak remaja itu sedang mencari jati diri, merasa bisa melakukan banyak hal sendiri. Jadi, pendekatan yang digunakan harus sejajar. Untuk para orang tua, kita sebaiknya jadilah teman mereka, bukan penghakim,” katanya.
Ia menekankan pentingnya mendengarkan tanpa menghakimi.
“Banyak orang tua mengeluh anaknya tidak mau bercerita. Padahal, kadang anak tidak mau bicara karena tidak merasa didengar,” ujarnya.
Bagi Hana, tujuan akhir dari pendidikan reproduksi dan seksualitas bukan sekadar memberikan pengetahuan, melainkan membangun kesadaran bahwa setiap anak berhak atas tubuh dan rasa amannya sendiri.
“Kalau anak tahu dirinya berharga, ia akan lebih mampu menjaga dirinya dari kekerasan,” jelasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang