PERTEMPURAN antara tentara dengan kelompok paramiliter di Sudan telah menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan kelaparan, penyakit, dan pengungsian.
Perang pecah di Khartoum, ibu kota Sudan, pada 15 April 2023 saat perebutan kekuasaan yang memanas antara dua faksi utama rezim militer akhirnya berubah menjadi konflik berdarah.
Di satu sisi adalah angkatan bersenjata Sudan yang masih setia kepada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, penguasa de facto negara itu. Pihak lawannya adalah kelompok paramiliter bernama Rapid Support Forces (RFS), kumpulan milisi yang mengikuti mantan panglima perang Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti.
Baca juga: Selama Perang, Barang Antik di Museum Sudan Dijarah dan Diselundupkan
RSF didirikan mantan penguasa diktator Omar al-Bashir (berkuasa tahun 1989 - 2019) sebagai milisi yang terdiri dari orang-orang beretnis Arab untuk melawan pemberontakan. Bashir ingin menumpas pemberontakan yang biasanya berasal dari kelompok etnis non-Arab di wilayah Darfur yang dimulai lebih dari 20 tahun lalu. Pemberontakan terkait dengan ketidakadilan politik dan ekonomi yang dialami penduduk setempat.
Orang-orang Arab merupakan kelompok etnis terbesar di Sudan, sekitar 70 persen dari populasi. Mereka menguasai politik dan ekonomi negara itu. Mereka telah tiba di Sudan sekitar abad ketujuh dan kini terutama tinggal di Sudan utara dan tengah.
RSF, yang awalnya dikenal sebagai Janjaweed, dengan cepat menjadi identik dengan kekejaman. Pada tahun 2013, Bashir mengubah kelompok itu menjadi kekuatan paramiliter semi-terorganisir dan memberikan pangkat militer kepada para pemimpinnya sebelum mengerahkan mereka untuk menumpas pemberontakan baru di Darfur Selatan.
Menurut laporan The Guardian, perebutan kekuasaan antara Hemedti dengan Burhan dapat ditelusuri kembali ke tahun 2019, ketika RSF dan pasukan militer reguler bekerja sama untuk menggulingkan Bashir dari kekuasaan. Saat upaya transisi menuju pemerintahan demokratis yang dipimpin sipil gagal, banyak analis sudah mengira bahwa bentrokan antara Burhan dan Hemedti tidak bisa dihindari.
Konflik itu telah menjerumuskan Sudan ke dalam apa yang digambarkan PBB sebagai “salah satu mimpi buruk kemanusiaan terburuk dalam sejarah dewasa ini”. Puluhan ribu orang tewas, jutaan orang lainnya mengungsi dan kelaparan. Penyakit pun merajalela.