Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Masyarakat Adat Ciptagelar yang Hormati Hutan dan Beradaptasi dengan Krisis Iklim

Kompas.com - 03/10/2025, 18:43 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan yang dikenal dengan Ciptagelar di Jawa Barat, hidup dengan menghormati hutan dan mulai beradaptadi dengan perubahan iklim. Direktur Common Room Network Foundation, Gustaff Harriman Iskandar, menjelaskan masyarakat adat itu membagi zona hutan berdasarkan fungsi, makna, dan nilai.

"Ada hutan sakral, atau leluhur titipan, ada leluhur tutupan, dan lain sebagainya," kata Gustaff dalam Lestari Summit & Awards 2025 di Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).

Berdasarkan pemetaan citra satelit dan land sites, rupanya daerah-daerah yang dianggap sakral dilindungi lantaran menyimpan sumber daya air dan sumber daya penting untuk budi daya. Gustaff menyebutkan, masyarakat Ciptagelar memiliki budaya manajemen air bernama ulu-ulu, terinspirasi dari meninting, burung yang hidup di sumber air.

Hal menarik lainnya ialah jadwal menanam padi yang diatur spesifik melalui kalender pranata mangsa.

Baca juga: Tanah Ulayat dan Masyarakat Adat yang Terpinggirkan

"Petunjuknya pakai konstalasi bintang yang cara memaknainya seperti baris puisi. Jadi kalau misalnya posisinya ada di titik tertentu itu dia akan jadi petunjuk kapan waktu yang terbaik untuk menanam kapan waktu terbaik untuk panen," jelas dia.

Masyarakat juga menanam pada waktu yang sama dengan reproduksi serangga. Sehingga mereka mengetahui kelembapan dan suhu tanpa perlu stasiun cuaca. Varietas padi yang ditanam diturunkan dari leluhur mereka. Dalam siklus waktu tertentu ada upacara memuliakan benih padi.

"Beberapa waktu yang lalu kami punya kesempatan untuk memamerkan sekitar 150 benih padi lokal dari masyarakat Pancer Pangawinan di Bentara Budaya," tutur Gustaff.

Ia mencatat, menurut data tahun 2015, terjadi kekeringan parah dengan lebih dari 100.000 hektare sawah gagal panen.

"Tetapi kalau misalnya kita lihat di data 2015 terjadi lonjakan sekitar 200 persen hasil panen, jadi masyarakat Pancer Pangawinan sudah menemukan cara untuk beradaptasi dan mengindikasikan dampak perubahan lingkungan," sebut Gustaff.

Baca juga: Tak Cuma Korporasi, Kemenhut Siapkan Masyarakat Adat Masuk Pasar Karbon

Mereka juga mandiri energi melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan infrastruktur internet yang kini menjangkau 45 dusun di 13 desa dengan pengguna harian 1.000 orang per hari.

Masyarakat adat ini dikenal sejak abad ke-13 dengan tradisi ngalalakon yakni berpindah kampung induk sesuai petunjuk leluhur.

Kini, populasi Ciptagelar mencapai 25.000–30.000 jiwa, tersebar di Sukabumi, Bogor, Lebak, dan Banten yang masih memegang erat struktur pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Abah. Kendati jumlahnya kecil, masyarakat adat berperan besar dalam menjaga bumi.

“Secara global, masyarakat adat hanya 4–5 persen dari populasi. Tetapi mereka mengelola sekitar 11 persen hutan dunia yang menjadi rumah bagi 80 persen keanekaragaman hayati,” ujar Gustaff.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Koalisi Manajer Aset Net Zero Kembali, Tapi Tanpa Komitmen Iklim 2050
Pemerintah
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
7.500 Peserta Ikuti PLN Electric Run 2025, Ajang Lari Nol Emisi Pertama di Indonesia
BUMN
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
Jangkar Kapal Merusak Terumbu Karang di TN Komodo, Potret Gagalnya Tata Kelola Pariwisata
LSM/Figur
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Studi Ungkap Emisi Penerbangan Nyata Bisa Tiga Kali Lipat Lebih Tinggi dari Kalkulator Karbon
Pemerintah
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
LSM/Figur
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di 'Smelter' Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di "Smelter" Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Pemerintah
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Emisi Tak Terlihat dari Colokan Listrik
Pemerintah
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
Pertamina dan KLHK Tanam Ratusan Pohon Produktif di Hulu DAS di Bogor
BUMN
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Pemerintah
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
Pemerintah
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau