JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan yang dikenal dengan Ciptagelar di Jawa Barat, hidup dengan menghormati hutan dan mulai beradaptadi dengan perubahan iklim. Direktur Common Room Network Foundation, Gustaff Harriman Iskandar, menjelaskan masyarakat adat itu membagi zona hutan berdasarkan fungsi, makna, dan nilai.
"Ada hutan sakral, atau leluhur titipan, ada leluhur tutupan, dan lain sebagainya," kata Gustaff dalam Lestari Summit & Awards 2025 di Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Berdasarkan pemetaan citra satelit dan land sites, rupanya daerah-daerah yang dianggap sakral dilindungi lantaran menyimpan sumber daya air dan sumber daya penting untuk budi daya. Gustaff menyebutkan, masyarakat Ciptagelar memiliki budaya manajemen air bernama ulu-ulu, terinspirasi dari meninting, burung yang hidup di sumber air.
Hal menarik lainnya ialah jadwal menanam padi yang diatur spesifik melalui kalender pranata mangsa.
Baca juga: Tanah Ulayat dan Masyarakat Adat yang Terpinggirkan
"Petunjuknya pakai konstalasi bintang yang cara memaknainya seperti baris puisi. Jadi kalau misalnya posisinya ada di titik tertentu itu dia akan jadi petunjuk kapan waktu yang terbaik untuk menanam kapan waktu terbaik untuk panen," jelas dia.
Masyarakat juga menanam pada waktu yang sama dengan reproduksi serangga. Sehingga mereka mengetahui kelembapan dan suhu tanpa perlu stasiun cuaca. Varietas padi yang ditanam diturunkan dari leluhur mereka. Dalam siklus waktu tertentu ada upacara memuliakan benih padi.
"Beberapa waktu yang lalu kami punya kesempatan untuk memamerkan sekitar 150 benih padi lokal dari masyarakat Pancer Pangawinan di Bentara Budaya," tutur Gustaff.
Ia mencatat, menurut data tahun 2015, terjadi kekeringan parah dengan lebih dari 100.000 hektare sawah gagal panen.
"Tetapi kalau misalnya kita lihat di data 2015 terjadi lonjakan sekitar 200 persen hasil panen, jadi masyarakat Pancer Pangawinan sudah menemukan cara untuk beradaptasi dan mengindikasikan dampak perubahan lingkungan," sebut Gustaff.
Baca juga: Tak Cuma Korporasi, Kemenhut Siapkan Masyarakat Adat Masuk Pasar Karbon
Mereka juga mandiri energi melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan infrastruktur internet yang kini menjangkau 45 dusun di 13 desa dengan pengguna harian 1.000 orang per hari.
Masyarakat adat ini dikenal sejak abad ke-13 dengan tradisi ngalalakon yakni berpindah kampung induk sesuai petunjuk leluhur.
Kini, populasi Ciptagelar mencapai 25.000–30.000 jiwa, tersebar di Sukabumi, Bogor, Lebak, dan Banten yang masih memegang erat struktur pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Abah. Kendati jumlahnya kecil, masyarakat adat berperan besar dalam menjaga bumi.
“Secara global, masyarakat adat hanya 4–5 persen dari populasi. Tetapi mereka mengelola sekitar 11 persen hutan dunia yang menjadi rumah bagi 80 persen keanekaragaman hayati,” ujar Gustaff.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya