
Awam barangkali bertanya-tanya tentang dua kata yang tak lazim digunakan orang sebagai judul tulisan saya.
Pertama, gastrokolonialisme: mengacu pada imbas penjajahan terhadap kebiasaan makan, agrikultur dan distribusi pangan yang berisiko menggantikan pangan lokal sekaligus berkontribusi terhadap masalah kesehatan, konteks ‘siapa yang diuntungkan’, disrupsi budaya lokal hingga kedaulatan pangan suatu bangsa berada dalam ‘bahaya’.
Kedua, altruisme: yaitu perilaku mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain secara suka rela, yang didorong rasa empati, kepedulian dan tanggung jawab sosial tanpa mengharapkan imbalan.
Baca juga: Makan Itu tentang Pulang ke Rumah
Tidak ada yang meragukan sikap altruisme Presiden jauh sebelum riuh rendah Makan Bergizi Gratis muncul.
Beberapa kali beliau mengungkapkan keprihatinannya soal anak sekolah tidak sarapan, bahkan disebut dalam salah satu pidatonya, “ada anak yang sehari-hari hanya bisa makan nasi pakai garam”.
Di banyak organisasi bahkan instansi pemerintah, bukan hal baru muncul gerakan orangtua asuh, juga aneka kegiatan CSR (corporate social responsibility) sebagai komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan - apalagi saat gencarnya penanggulangan stunting didengungkan.
Yang menjadi pertanyaan menarik: upaya karitatif seputar “donasi bergizi” mempunyai pola sentral pemahaman yang sama, bagi-bagi produk industri yang berkonotasi “kaya nutrisi” bukan versi negri sendiri.
Acuannya justru apa yang dianggap mewah di era penjajahan, ketika pribumi pemakan singkong minder dengan kulit putih peminum susu dan pemakan roti.
Bahkan, slogan empat sehat lima sempurna yang sudah punah itu masih hidup bayang-bayang arwahnya hingga hari ini.
Para ibu disindir pelit jika tidak bisa membeli susu formula, bahkan dianggap egois memaksakan diri memberi ASI hingga dua tahun.
Pun selepas disapih, para orangtua masih merasa bersalah jika tidak mampu membelikan anaknya susu.
Bekal sekolah berisi ubi dan dadar telur dianggap makanan diet, sementara banyak ibu merasa bangga bisa pamer biskuit mahal, aneka minuman berpemanis dalam kemasan - yang katanya menyehatkan usus dan ‘memperbaiki penyerapan nutrisi’.
Begitu sliweran yang beredar di media sosial, dipercaya setengah mati bahkan banyak sekolah mengizinkan promosi besar-besaran produknya di lingkungan pendidikan yang mestinya netral, bebas iklan.
Menyiasati intoleransi laktosa pada etnik Melayu, industri susu tidak hilang akal. Belakangan ini semakin marak kemasan UHT minuman berpemanis aneka rasa yang masih berani menyebut diri sebagai ‘susu’ - padahal kandungan susunya hanya 30%.
Suatu kenyataan miris sekaligus pembodohan telak, apabila produk ini disamakan dengan susu utuh yang digunakan sebagai bahan studi di negeri orang dengan segala manfaatnya - jika dikonsumsi oleh etnik yang tidak dominan intoleran terhadap laktosa.