JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas di sekitar Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, para pengemudi ojek online (ojol) tak hanya bersaing mengantar penumpang, tetapi juga mengirimkan barang.
Banyak dari mereka kini memilih beralih menjadi kurir pengiriman barang instan dengan layanan sameday demi menghindari drama yang kerap muncul dari penumpang.
Namun, kenyamanan itu harus dibayar dengan sistem bagi hasil yang dianggap tidak transparan dan terkadang merugikan para mitra pengemudi.
Baca juga: Kisah Pengemudi Ojol Beralih Jadi Kurir Instan demi Kesehatan Mental: Minim Drama
Bagi Fadli (34), menjadi kurir instan bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga cara menjaga ketenangan batin.
“Kalau barang enggak bisa protes. Penumpang kadang suka ngatur-ngatur rute atau marah-marah kalau telat,” ujarnya kepada Kompas.com, di sekitar Stasiun Gondangdia, Senin (26/5/2025).
Fadli mengaku sudah lima tahun menjadi pengemudi ojol sekaligus kurir instan, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain.
Biasanya, pagi hari ia mengantar penumpang, sementara siangnya berburu orderan pengiriman barang. Dalam sehari, ia bisa mengantarkan belasan paket.
Sementara itu, Siti (38), ibu dua anak dari Cempaka Putih, Jakarta Pusat, juga lebih senang menjadi kurir instan ketimbang ojol yang mengantarkan penumpang.
Baca juga: Cerita Ojol Merangkap Kurir di Jakpus, Bersaing dengan Waktu dan Memastikan Kiriman Aman
“Penumpang tuh kadang ngomel, dikit-dikit komplain. Kalau antar paket lebih fleksibel. Bisa atur rute sendiri asal sesuai estimasi waktu,” kata Siti di sekitar Stasiun Gondangdia, Senin
Meski tampak lebih tenang, menjadi seorang kurir instan tetap penuh tantangan bagi Siti. Mulai dari naik tangga gedung tua tanpa lift sambil membawa barang berat, hingga melawan hujan deras demi pengiriman barang sampai tepat waktu.
Kenyamanan yang didapat saat menjadi kurir instan harus dibayar dengan pendapatan yang dirasa tidak transparan. Skema bagi hasil antara aplikator dan pengemudi kerap menjadi kendala.
“Kadang customer bayar Rp 40.000, kita cuma dapat Rp 12.000. Sisanya ke mana? Ya ke aplikator,” keluh Fadli.
Ridwan (27), kurir instan sameday lainnya, bahkan pernah menerima setengah dari tarif Rp 200.000 yang dibayar pelanggan.
Baca juga: Pengemudi Ojol Keluhkan Bagi Hasil Kirim Barang Tak Transparan
“Tergantung aplikator, jenis layanan, dan kadang algoritmanya juga bikin bingung,” ujar Ridwan di sekitar Stasiun Gondangdia, Senin.
Tak hanya itu, ketidaksesuaian antara data aplikasi dan kenyataan di lapangan juga kerap terjadi dalam pengiriman barang.