JAKARTA, KOMPAS.com – Menyambut 80 tahun kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada pekerjaan rumah besar, yakni memastikan tenaga kerja mampu bersaing di tengah perubahan industri dan teknologi yang cepat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan lebih dari separuh pekerja Indonesia berada di posisi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keahlian mereka.
Ketidaksesuaian ini berdampak pada tingginya angka pengangguran, yakni 7,28 juta orang, dengan 3,55 juta di antaranya berusia 15–24 tahun. Bahkan, sebanyak 871.860 lulusan sarjana (BPS, Februari 2025) masih berjuang mendapatkan pekerjaan yang sesuai kualifikasi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani menilai perubahan arah investasi menjadi salah satu pemicu.
“Investasi di Indonesia bergeser ke sektor yang lebih padat modal, dan keterampilan yang kita butuhkan berubah sesuai hal tersebut. Kita harus menyesuaikan pelatihan untuk mengimbangi industri dan teknologi,” ujarnya melalui keterangan pers, Jumat (15/8/2025).
Baca juga: AI Ancam Ambil Alih Pekerjaan Manusia, Kuasai 3 Skill Ini
Di tengah tantangan itu, kerja sama bilateral Indonesia-Australia melahirkan Indonesia-Australia Skills Exchange (IASE), sebuah platform yang mempertemukan perusahaan di Indonesia dengan lebih dari 50 penyedia pendidikan Australia dan lebih dari 300 kursus pelatihan.
Melalui situs IASkills.org, pemberi kerja dapat mencari kursus yang relevan, menghubungi penyedia pelatihan, atau mengajukan tender sesuai kebutuhan.
Menurut Skills Lead Adviser Katalis, Clarice Campbell, IASE dirancang agar praktis digunakan oleh dunia usaha.
“Jika perusahaan memiliki kebutuhan pelatihan tertentu, Anda dapat mempostingnya di platform dan penyedia akan membalas,” kata Clarice.
Baca juga: Dukung Pendidikan Berorientasi Industri, Pelindo Berikan Beasiswa dan Pelatihan untuk Mahasiswa
Fokus pelatihan tidak hanya pada keterampilan teknis, tetapi juga soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, dan pemikiran kritis. Hal ini penting, terutama di sektor pariwisata, yang pada kuartal III 2024 menyumbang 4,01 persen terhadap PDB dan kini berkembang ke kota-kota sekunder.
Perkembangan itu mendorong kebutuhan pekerja dengan kemampuan pemasaran digital, analitik data, hingga desain pengalaman pelanggan.
Direktur Katalis Paul Bartlett mengatakan penyedia pendidikan Australia dapat mengisi kesenjangan tersebut.
“Di situlah bisnis dapat berkembang, menggabungkan kemampuan di bidangnya dengan kepemimpinan, komunikasi, dan pemikiran kritis,” ujar Paul.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Pegawai Lewat Inovasi dan Pelatihan, Bank Mandiri Kantongi 2 Sertifikasi ISO
Salah satu contoh kerja sama berskala besar adalah PLN yang menandatangani nota kesepahaman dengan Monash University, UNSW, The University of Queensland, dan University of Melbourne.
Lebih dari 500 pegawai terlibat dalam program ini, dan 300 di antaranya telah menempuh pendidikan di Australia, menggabungkan teori akademik dengan praktik di fasilitas kelas dunia.
Bagi Katalis, keberhasilan program pelatihan juga ditentukan oleh inklusivitas. Prinsip Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GESI) diterapkan untuk memastikan akses yang setara bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas.
“Ketika semua kelompok mendapatkan kesempatan yang sama, mereka bisa berkontribusi lebih besar pada perekonomian, dan itu baik untuk bisnis,” tambah Clarice.
Langkah-langkah ini diharapkan membantu Indonesia mempersiapkan tenaga kerja yang tidak hanya terampil, tetapi juga adaptif menghadapi tantangan masa depan. Sebab, menuju Indonesia Emas 2045, kekuatan bangsa tak hanya diukur dari infrastruktur, tetapi juga dari kualitas manusianya.
Baca juga: Sri Mulyani Kritik Minimnya SDM RI di Posisi Global dan Strategis
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang