JAKARTA, KOMPAS.com – Harga emas berpotensi melonjak hingga 5.000 dollar AS per troy ounce jika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus menekan independensi bank sentral (Federal Reserve/Fed). Prediksi ini disampaikan Goldman Sachs dalam riset terbarunya.
Saat ini, harga emas dunia berada di level 3.596 dollar AS per troy ounce di bursa Comex, atau naik 36 persen sejak awal tahun. Angka tersebut sudah mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah.
“Jika independensi The Fed terganggu, hal itu bisa memicu inflasi lebih tinggi, turunnya harga obligasi, pelemahan bursa saham, serta mengikis status dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Sebaliknya, emas adalah penyimpan nilai yang tidak bergantung pada kepercayaan institusi,” ujar Samantha Dart, analis Goldman Sachs, dikutip dari Fortune, Jumat (5/9/2025).
Baca juga: Meriahkan Harpelnas, Pegadaian Tebar Diskon hingga Ribuan Voucher Tabungan Emas
Gedung Putih disebut berupaya menempatkan orang-orang dekat Trump dalam Federal Open Market Committee (FOMC). Bahkan, Trump dan sekutunya mendorong investigasi pidana terhadap Ketua The Fed Jerome Powell dan Gubernur Lisa Cook.
Trump juga berusaha memecat Cook, serta menyatakan Powell akan diganti dengan sosok yang sejalan dengan agenda politiknya, yakni menurunkan suku bunga lebih cepat.
Menurut Goldman Sachs, kondisi tersebut membuat investor ragu terhadap keamanan pasar obligasi, saham, dan dolar, sehingga berpotensi beralih ke emas.
Dalam analisisnya, Dart menyebut skenario risiko ekstrem (“tail risk scenario”) bisa membawa harga emas ke level 4.500 dollar AS per troy ounce.
Namun, pergeseran kecil saja dalam permintaan sudah cukup mendorong harga emas melewati 5.000 dollar AS.
Baca juga: Queens Cheerleading Kibarkan Merah Putih di Singapura, Raih Emas dan Dua Perak
“Kami memperkirakan jika 1 persen dari pasar obligasi pemerintah AS yang dimiliki swasta dialihkan ke emas, maka harga emas bisa naik mendekati 5.000 dollar AS per troy ounce,” tulis Dart.
Karena itu, Goldman Sachs menilai emas masih menjadi rekomendasi investasi paling kuat di sektor komoditas.
Di sisi lain, data ketenagakerjaan AS menunjukkan pelemahan. Laporan JOLTS mencatat jumlah lowongan kerja turun menjadi 7,2 juta, sementara pemutusan hubungan kerja naik ke 1,8 juta.
“Yang lebih mengkhawatirkan adalah kenaikan jumlah PHK,” ujar Francesco Pesole, ekonom ING.
Adapun survei ADP yang akan dirilis diperkirakan menunjukkan perlambatan perekrutan, dari 104.000 menjadi 68.000. Sementara itu, laporan tenaga kerja nonfarm payrolls—data pekerjaan utama—akan diumumkan esok hari.
Baca juga: Harga Emas Melonjak, Permintaan BSI Cicil Emas Ikut Terdongkrak
Wall Street kini hampir sepakat bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September. Berdasarkan alat FedWatch CME, peluang pemangkasan suku bunga acuan sudah mencapai 98 persen.
Namun, perdebatan masih terjadi soal berapa kali pemangkasan akan dilakukan.
Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic menilai inflasi yang meningkat justru menjadi risiko terbesar dibandingkan pelemahan pasar tenaga kerja. Ia menyebut pemangkasan satu kali sebesar 25 basis poin bisa mencukupi untuk menjaga target ganda The Fed.
Sementara itu, Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari menegaskan inflasi masih terlalu tinggi dan dampak tarif impor kemungkinan bukan sekadar fenomena jangka pendek.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini