JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang pertama atas gugatan seorang wanita bernama NS kepada fintech peer-to-peer lending PT Pembiayaan Digital Indonesia atau AdaKami ditunda lantaran salah satu tergugat, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak hadir pada Rabu (3/9/2025).
Kuasa Hukum Penggugat, Bangun Simamora, menjelaskan bahwa sidang tersebut akhirnya ditunda minggu depan setelah OJK disebut tidak hadir dan kuasa hukum PT Bank KEB Hana Indonesia (Bank Hana) tidak memiliki surat kuasa.
"OJK mangkir sidang sehingga ditunda sidangnya ke minggu depan. Bank Hana hadir, tapi surat kuasanya belum ada, sehingga kuasa hukumnya duduk di kursi pengunjung, bukan di kursi tergugat," kata dia kepada Kompas.com, Sabtu (6/9/2025).
Baca juga: Soal Gugatan Teror Pindar AdaKami, Bank Hana Buka Suara
Ia menceritakan, sidang yang semula dijadwalkan pukul 10.00 WIB tersebut sempat ditunda untuk melakukan pemanggilan kembali pihak tergugat yang belum hadir.
Kasus ini bermula ketika pinjaman daring (pindar) AdaKami mendapatkan gugatan dari seorang perempuan yang mengaku mendapatkan teror seperti nasabah yang menunggak.
Padahal, ia mengaku tidak memiliki pinjaman di platform pinjaman daring tersebut.
Bangun mengatakan, kliennya bukan merupakan nasabah AdaKami. "Klien kami bukan nasabah AdaKami, tapi diperlakukan sebagai nasabah penunggak, diteror, diancam disuruh melunasi," kata dia kepada Kompas.com, Kamis (28/8/2025).
Ia menambahkan, pertama kali telepon masuk dari bagian penagihan AdaKami pada 18 Juni 2025.
Telepon tersebut meminta penggugat untuk segera melunasi utangnya di AdaKami.
Setelah itu, NS mencoba untuk menghubungi bagian Customer Service (CS) dari AdaKami.
Dari sana, diketahui nomor HP NS memang tidak terdaftar sebagai peminjam di AdaKami. "Tapi nomor KTP-nya ada di situ sebagai peminjam atas nama klien, padahal klien tidak pernah punya rekening di Bank Hana," terang dia.
Nama Bank Hana mulai terseret ketika dana yang disebut merupakan pinjaman dari penggugat tersebut ditransfer ke Bank Hana. "Padahal klien tidak pernah punya rekening di situ," ungkap dia.
Bangun melanjutkan, CS AdaKami lantas meminta kliennya untuk membuat surat pernyataan dari Bank Hana bahwa NS bukan nasabah dari Bank Hana.
Namun demikian, melalui email, Bank Hana disebut tidak bisa memberikan surat keterangan tersebut.
Setelah itu, telepon penagihan AdaKami terus berdering berusaha menghubungi kliennya. "Sampai 310 (telepon) kalau kami hitung, dari tanggal 18 Juni sampai 14 Juli 2025. Berhenti ketika kami kirim somasi (ke AdaKami)," terang dia.
Bangun menjelaskan, kliennya NS juga tidak termasuk dalam kontak penjamin dari pinjaman seseorang. "Jadi pokoknya bukan nasabah di AdaKami sekarang," tegas Bangun.
Ia menjelaskan, proses gugatan yang saat ini sedang berlangsung turut melibatkan Bank Hana sebagai turut tergugat.
Pasalnya, pada kesempatan sebelumnya, dinilai tidak memberikan kemudahan bagi kliennya dalam memberikan surat keterangan bukan nasabah tersebut.
"Bagi klien kami yang stres, itu kan ketika ada surat keterangan lebih menenangkan dia, ternyata oleh Bank Hana pun tidak mau mengeluarkan surat, karena bukan nasabahnya," ungkap dia.
Belakangan, ia menyebut terdapat kesamaan nama antara kliennya yang berinisial NS dengan nasabah Bank Hana yang memiliki nama serupa. "Nama NS-nya ada, tetapi bukan NS yang ini gitu. Jadi orang membuka rekening di sana atas nama klien kami, tetapi bukan klien kami," ujar dia.
Bank Hana juga disebut telah melakukan verifikasi ke identitas tersebut dan mengamini bahwa pemilik rekening tersebut bukan NS yang menjadi kliennya. "Bahwa ini korban, korban penyalahgunaan KTP-nya gitu, jadi diterror," tutup dia.
Sebelumnya, fintech peer-to-peer lending PT Pembiayaan Digital Indonesia atau AdaKami memberikan tanggapan terkait gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.
Chief of Public Affairs AdaKami, Karissa Sjawaldy, mengatakan, pihaknya akan mengikuti seluruh proses hukum yang berlangsung.
"Dapat kami sampaikan, AdaKami akan menghormati dan mengikuti seluruh proses hukum yang akan berlangsung. Saat ini, kami sedang berkoordinasi di internal terkait hal ini," ujar dia kepada Kompas.com, Selasa (26/8/2025).
Ia menambahkan, sebagai platform pinjaman daring (Pindar) legal yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), AdaKami senantiasa tunduk pada ketentuan yang berlaku. "Serta berkomitmen memberikan akses keuangan tepercaya dengan memastikan keamanan dan kenyamanan pengguna," imbuh dia.
Perkara tersebut terdaftar dengan nomor 852/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL pada Rabu (20/8/2025) dengan penggugat berinisial NS.
Nilai sengketa dari perkara ini adalah Rp 2,005 miliar atau dua miliar lima juta rupiah.
Baca juga: AdaKami Digugat Nasabah Buntut Dugaan Teror Penagihan, Ini Kata Asosiasi Fintech
Kerugian sejumlah Rp 5 juta untuk ongkos transportasi membuat laporan, somasi, dan biaya transportasi ke persidangan di PN Jaksel, serta panjar biaya perkara.
Selain itu, beberapa kerugian immaterial yang menjadi landasan laporan ini adalah rasa takut penggugat yang akan dipermalukan oleh tergugat.
Dalam petitumnya, penggugat berinisial NS juga mengaku mengalami penurunan kesehatan terkait dengan teror dari pihak AdaKami. "Kondisi kesehatan penggugat yang menurun akibat teror tergugat sehingga penggugat memutuskan untuk work from home (WFH)," kata dia dalam petitum tersebut.
Tak hanya itu, penggugat juga mengalami rasa cemas, mengingat riwayat kesehatan yang harus menjaga tingkat kestabilan tekanan darah. "Kerugian immaterial penggugat ini dinilai dengan nilai tidak kurang dari Rp 2 miliar," imbuh petitum tersebut.
Selain AdaKami, tuntutan tersebut juga turut menggugat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan PT Bank KEB Hana Indonesia (Bank Hana).
Baca juga: Duduk Perkara Gugatan ke AdaKami, Bukan Nasabah tapi Diteror Seperti Penunggak Pinjaman
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini